Bukan Sekadar Dusta: Efek Perselingkuhan pada Jiwa dan Hubungan

Wait 5 sec.

photo by : penulisPerselingkuhan sering dianggap hanya sekadar kebohongan dalam hubungan, seperti, selingkuh itu “menipu”, “nggak setia”. Tapi sesungguhnya, dampaknya jauh lebih dalam dari sekadar dusta. Bagi banyak orang, perselingkuhan bisa menciptakan luka emosional dan krisis kepercayaan yang sulit disembuhkan. Perselingkuhan jelas bukan sekadar dusta. Ia bisa merusak jiwa, menghancurkan kepercayaan, bahkan meninggalkan trauma panjang yang terbawa sampai ke hubungan berikutnya. Luka ini seringkali tak terlihat, tapi nyatanya bisa mengubah hidup seseorang selamanya. Namun, penting diingat: perselingkuhan bukan salah korban. Banyak orang yang dikhianati cenderung menyalahkan diri sendiri, merasa tidak cukup baik, tidak cukup menarik, atau tidak cukup berharga. Padahal, keputusan untuk selingkuh selalu ada di tangan pelaku, bukan di pundak orang yang dikhianati. Menurut saya, bagian tersulit setelah perselingkuhan bukan hanya menghadapi pasangan, tapi menghadapi diri sendiri. Bagaimana berdamai dengan luka, menerima bahwa apa yang terjadi di luar kendali kita, dan memutuskan jalan apa yang ingin diambil: bertahan dengan syarat baru, atau melangkah pergi untuk menyembuhkan diri. Keduanya sah, keduanya butuh keberanian.Bagi yang memilih bertahan, perjalanan akan penuh tantangan, tapi bukan berarti mustahil. Hubungan bisa dibangun ulang dengan komunikasi terbuka, terapi pasangan, dan kesediaan kedua belah pihak untuk benar-benar berubah. Bagi yang memilih pergi, rasa sakit mungkin terasa lebih intens di awal, tapi ada kebebasan di ujung jalan. Kebebasan untuk pulih, untuk menemukan kembali diri yang utuh, dan mungkin untuk membuka hati lagi di masa depan.Luka yang Nggak Kelihatan, Tapi NyataMenurut psikolog dari BetterHelp, korban perselingkuhan kerap mengalami penurunan harga diri, rasa cemas, hingga gejala mirip PTSD seperti mimpi buruk dan sulit tidur (BetterHelp). Saya rasa poin ini benar adanya. Luka batin akibat dikhianati memang tidak terlihat, tapi justru itulah luka yang paling berbahaya. Banyak orang terlihat baik-baik saja dari luar, padahal hatinya hancur dan pikirannya penuh tanda tanya. Efeknya bisa sangat mengganggu kehidupan sehari-hari, bahkan saat sedang bekerja atau sekadar bersosialisasi.Psikolog klinis Sheri Meyers juga menyebut perselingkuhan sebagai “bom emosional” yang merusak dan mengguncang identitas diri korban. Menurut saya, istilah ini benar-benar menggambarkan kenyataan. Bom itu bisa datang tiba-tiba, seperti, satu pesan yang ketahuan, satu panggilan yang mencurigakan, atau satu rahasia kecil yang akhirnya terbongkar. Ledakannya seketika menghancurkan fondasi hubungan, tapi yang lebih parah adalah dampaknya terhadap rasa berharga diri korban.Sheri Meyers juga menekankan bahwa pengkhianatan cinta sering membuat korban mempertanyakan segalanya: Apakah aku kurang menarik? Kurang pintar? Kurang baik? Pertanyaan-pertanyaan ini, menurut saya, lebih berbahaya daripada selingkuhnya itu sendiri. Karena korban bukan hanya kehilangan pasangan yang dipercaya, tapi juga kehilangan kepercayaan pada diri mereka sendiri. Saya pribadi pernah mendengar cerita dari seorang teman yang diselingkuhi setelah hubungan bertahun-tahun. Bukan hanya rasa sakit karena dibohongi, tapi yang paling menghantam dirinya adalah perasaan, “Kalau dia bisa berpaling, berarti aku nggak cukup.” Padahal, kalau dipikir ulang, perselingkuhan seringkali lebih mencerminkan kekosongan dalam diri pelaku, bukan kesalahan korban.Di sinilah saya setuju dengan Sheri Meyers: bom emosional itu bukan cuma menghancurkan hubungan, tapi juga meledakkan seluruh “peta identitas” korban. Dari yang semula yakin, optimis, dan percaya diri, tiba-tiba jadi penuh keraguan dan rasa rendah diri. karena ketika cinta yang diberikan secara penuh malah dikembalikan dengan tidak utuh, bukan hanya pasangan yang hilang, tapi juga rasa percaya diri bahwa kita layak dicintai. Dan menurut saya, luka seperti ini justru yang paling lama sembuhnya. Orang bisa move on dari pasangan, tapi butuh waktu jauh lebih lama untuk move on dari rasa tidak percaya pada dirinya sendiri.Kepercayaan yang Roboh Sekali untuk Selamanya?Ilustrasi perselingkuhan. Foto: ShutterstockTerapis pasangan Esther Perel menilai membangun kembali kepercayaan setelah selingkuh itu seperti “membangun rumah dari puing-puing.” Menurut saya, kalimat ini bukan sekadar metafora, tapi kenyataan pahit yang dialami banyak pasangan. Memaafkan mungkin bisa dilakukan, tapi setiap kali ada gesekan kecil, luka lama bisa terbuka lagi. Percakapan sederhana bisa berubah jadi interogasi, notifikasi ponsel bisa memicu kecurigaan, dan setiap perubahan kecil bisa menyebabkan pertengkaran besar.Saya pribadi percaya, ketika kepercayaan sudah hancur, hubungan jarang bisa kembali ke titik semula. Yang ada hanyalah bentuk baru hubungan yang mungkin tetap berjalan, tapi dengan dinding-dinding emosional yang sulit ditembus.Dari pengamatan saya, ada dua tipe orang ketika menghadapi perselingkuhan. Ada yang memilih bertahan, dengan alasan demi anak, demi masa lalu yang terlalu panjang untuk ditinggalkan, atau demi keyakinan bahwa pasangan bisa berubah. Mereka biasanya berusaha membangun ulang dengan penuh kontrol dan batasan baru. Hubungan seperti ini bisa berjalan, tapi seringkali rasanya berbeda, lebih hati-hati, lebih penuh kecurigaan, kadang juga lebih dingin. Di sisi lain, ada yang memilih pergi. Mereka percaya bahwa sekali kepercayaan dirusak, tidak ada cara untuk mengembalikannya. Memang berat, tapi banyak dari mereka akhirnya berhasil menemukan kebebasan emosional, meski awalnya penuh air mata. Saya pribadi merasa, keputusan untuk pergi ini seringkali lebih sehat, karena memberi kesempatan untuk benar-benar pulih dan membangun kebahagiaan baru tanpa bayang-bayang luka masa lalu.Pada akhirnya, menurut saya, tidak ada pilihan yang mutlak benar. Yang penting adalah kejujuran pada diri sendiri: apakah kita masih sanggup hidup berdampingan dengan puing-puing, atau justru perlu membangun rumah baru dari nol bersama orang lain. Karena sejatinya, kita bisa memaafkan, tapi sulit benar-benar melupakan.Trauma Relasional: Luka yang Sulit HilangRoamers Therapy menyebut perselingkuhan sebagai trauma relasional: luka yang membuat seseorang sulit percaya lagi pada cinta. Trauma ini berbeda dari luka biasa karena terjadi di ruang yang seharusnya paling aman, hubungan intim.Menurut saya, inilah yang membuat perselingkuhan punya dampak panjang. Luka relasional tidak hanya merusak hubungan yang sedang dijalani, tapi juga bisa merusak cara seseorang melihat cinta, kedekatan, bahkan masa depan. Setelah dikhianati, banyak orang jadi sulit membuka diri. Mereka waspada berlebihan, takut disakiti lagi, atau bahkan memilih untuk tidak menjalin hubungan baru.Sheri Meyers (yang juga membahas trauma akibat selingkuh) menyebut fenomena ini sebagai “trust issues yang diwariskan.” Saya pribadi melihatnya seperti bayangan panjang, sekali kita pernah ditikam dari belakang, kita akan terus menoleh ke belakang, bahkan saat orang di samping kita sebenarnya tulus.Saya pernah mendengar kisah seorang perempuan yang butuh bertahun-tahun untuk berani berkomitmen lagi setelah dikhianati. Setiap kali ada pasangan baru, dia selalu merasa cemas, gampang curiga, dan menaruh jarak. Kata-katanya yang paling membekas buat saya: “Aku ingin dicintai, tapi aku tidak tahu lagi bagaimana rasanya percaya.”Menurut saya, inilah inti dari trauma relasional: ia mengubah bukan hanya hubungan kita dengan orang lain, tapi juga hubungan kita dengan diri sendiri. Rasa aman, rasa layak, rasa percaya, semuanya terkikis. Dan berbeda dengan luka fisik, trauma relasional ini bisa terus terbawa tanpa batas waktu. Bahkan ketika luka lama sudah tidak dibicarakan lagi, sisa-sisanya tetap ada, entah dalam bentuk ketakutan, kecemasan, dan keengganan untuk membuka hati sepenuhnya.Saya percaya, satu-satunya cara untuk mengobati trauma relasional adalah dengan memberi ruang pada diri sendiri untuk benar-benar pulih. Bukan terburu-buru masuk hubungan baru, tapi belajar menata ulang kepercayaan pada diri sendiri dulu. Baru setelah itu, kita bisa perlahan belajar percaya pada orang baru lagi.