Dari Rumah Seni ke Kebijakan: Menjaga Kebudayaan dengan Riset dan Ekosistem

Wait 5 sec.

Foto: “Hinduisme, Agama, Tradisi Indonesia” oleh chepopovich — Pixabay, lisensi gratis. Resolusi 4240×2832.Kementerian Kebudayaan baru akan berusia satu tahun. Lembaga ini lahir dari sejarah panjang ketika kebudayaan hanya menjadi embel-embel dalam kementerian lain, sering tersisih oleh prioritas pendidikan, pariwisata, atau riset. Kehadirannya menutup utang lama: negara kini memiliki rumah yang sepenuhnya ditujukan bagi kebudayaan. Namun sebuah rumah baru selalu menimbulkan pertanyaan: bagaimana ia dihuni, bagaimana dikelola, dan bagaimana diwariskan.Euforia awal segera berganti dengan ujian realitas. Beberapa tokoh budaya mendukung secara terbuka agar Hilmar Farid, yang saat itu menjabat Dirjen Kebudayaan, diangkat menjadi Menteri Kebudayaan lewat petisi daring yang dibuat 16 Oktober 2024 oleh Fahmi Sukarta di situs Change.org. Petisi ini sempat mengumpulkan lebih dari 1.800 tanda tangan (Media Indonesia, 16/10/2024). Namun Presiden pada akhirnya menunjuk Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan. Polemik pun muncul, sebagian khawatir arah kementerian menjadi lebih politis ketimbang teknokratik. Tetapi yang lebih penting sesungguhnya bukan siapa menterinya, melainkan bagaimana kementerian ini bekerja menjawab tantangan kebudayaan Indonesia.Gambar: Jathilan, Budaya Jawa oleh elrodeo — Pixabay, lisensi gratis.Dari sini wajah ganda kementerian tampak jelas. Pada satu sisi, narasi optimistis hadir. Artikel Kompas edisi 1 Juli 2025 menegaskan kebudayaan bukan hanya identitas, tetapi juga sumber daya ekonomi masa depan. Dirjen Pelindungan Kebudayaan, Restu Gunawan, bahkan menyebut kebudayaan sebagai sumber daya yang semakin digali semakin menghasilkan (Kompas, 01/07/2025). Contoh konkret ada di Bali: sistem subak yang diakui UNESCO bukan hanya mempertahankan warisan agraris, tetapi juga menopang ekonomi pariwisata secara adil. Strategi pembangunan jangka menengah 2025–2029 pun memuat agenda besar—dari pelestarian warisan budaya, penguatan bahasa dan sastra, pemberdayaan masyarakat adat, hingga diplomasi budaya.Namun wajah kritis tak kalah kuat. Kompas edisi 23 Desember 2024 melaporkan praktik banyak pemerintah daerah yang masih terjebak dalam pola festivalisasi. DI Yogyakarta, berkat dana keistimewaan lebih dari Rp 1 triliun, mampu menggelar lebih dari 3.000 kegiatan budaya dalam setahun. Kudus dan Denpasar juga sarat agenda festival, pawai, dan lomba. Tetapi apakah jumlah acara itu otomatis memperkuat martabat dan karakter bangsa? Peneliti BRIN, Siti Zuhro, mengingatkan bahwa kebudayaan jangan semata dipandang sebagai sumber cuan dan tontonan. Pembangunan peradaban menuntut pendidikan kewargaan, integritas, dan karakter. Mukhlis PaEni menambahkan, perayaan festival memang penting, tetapi tanpa kesinambungan dan regenerasi sumber daya manusia, ia hanya melahirkan kemeriahan sesaat.Jurang antara retorika dan realitas semakin nyata ketika pagu indikatif RAPBN 2026 bagi Kementerian Kebudayaan ditetapkan sekitar Rp 827,4 miliar oleh Komisi X DPR—dengan alokasi untuk Program Pemajuan dan Pelestarian Kebudayaan sebesar hanya Rp 62,3 miliar (Gemapos, 2/7/2025; dokumen DPR/Komisi X, Agustus 2025). Angka ini secara signifikan lebih kecil dibandingkan anggaran 2025 yang dilaporkan media sekitar Rp 2,3 triliun (Hypeabis, 2025). Ketidakseimbangan antara visi besar dan alokasi kecil inilah yang menimbulkan tanda tanya publik. Kasus pembatasan karya seni dalam pameran juga memunculkan kekhawatiran apakah kebebasan berekspresi benar-benar dijamin (Kumparan, 18/06/2025).Gambar: Patung Pasir Selfie Monyet & Gorila oleh wal_172619 — Pixabay, lisensi gratis.Kritik dan kenyataan ini memberi pelajaran penting: simbol saja tidak cukup. Rumah kelembagaan bukan akhir, melainkan awal. Agar kebijakan kebudayaan tidak jatuh dalam jebakan seremoni, ia harus dikawal oleh riset sahih dan ditopang oleh ekosistem yang bekerja paralel.Riset sahih menjadi fondasi utama. Ia menjaga kebijakan dari jebakan slogan atau sekadar laporan kegiatan. Pertanyaan mendasar—berapa dampak festival terhadap ekonomi lokal, bagaimana warisan budaya menumbuhkan karakter generasi, sejauh mana kebijakan pusat menjangkau masyarakat adat—hanya dapat dijawab oleh riset empiris. Pendidikan tinggi seni dapat memainkan peran vital di sini. Selama ini ia sering terpinggirkan, fasilitas terbatas, kurikulum kerap berubah mengikuti logika pendidikan umum. Kini, ia perlu masuk ke rumah Kementerian Kebudayaan, bukan hanya untuk mendapatkan perhatian, melainkan untuk menyuplai riset dan gagasan kebijakan.Namun riset tanpa ekosistem tidak akan cukup. Kebijakan kebudayaan hanya dapat berdaya bila seluruh pemangku kepentingan bergerak bersama. Perguruan tinggi seni harus terkoneksi dengan kementerian, pemerintah daerah harus menjadikan kebudayaan bagian dari pembangunan, masyarakat adat harus ditempatkan sebagai subjek, media massa harus bersikap kritis dan jujur, dan dunia usaha harus terlibat dengan prinsip keberlanjutan. Ekosistem paralel ini akan menjamin kementerian tidak berjalan sendirian, melainkan bersama jejaring yang saling menopang.Dalam sejarah Nusantara, contoh ekosistem semacam itu sebenarnya sudah ada. Di Toraja, ritual Ma’bua hanya digelar dalam siklus panjang dan berfungsi sebagai konsolidasi sosial, redistribusi ekonomi, serta transfer nilai antar generasi (Waterson, The Living House, 1990). Di Minangkabau, nagari berfungsi sebagai unit sosial-politik yang otonom; BPS Sumatera Barat mencatat ratusan nagari dengan kewenangan adat dan sosial tersendiri (BPS Sumbar, 2023). Surau dalam nagari berfungsi sebagai pusat pendidikan adat, agama, dan seni bela diri; di masa lalu ia menjadi tempat belajar bagi generasi muda dari berbagai daerah, sebelum sistem sekolah kolonial Belanda masuk (Taufik Abdullah, Schools and Politics, 1971). Semua ini menunjukkan bahwa masyarakat kita telah memiliki kerangka riset dan ekosistem kebudayaan sejak lama, hanya sering diabaikan dalam kebijakan kontemporer.Dalam dua artikel opini sebelumnya—Pendidikan Tinggi Seni Butuh Rumah di Kementerian Kebudayaan (Kumparan, 18 September 2025) dan Pendidikan Tinggi Seni: Dari Pinggiran Menuju Pusat Keputusan (Kumparan, 26 September 2025)—telah ditegaskan bahwa pendidikan tinggi seni membutuhkan rumah kelembagaan dan posisi di pusat pengambilan keputusan. Gagasan itu kini menemukan konteks yang lebih luas. Rumah kelembagaan memang penting, tetapi rumah tanpa penghuni yang menghidupi nilai hanyalah bangunan kosong. Pusat keputusan juga penting, tetapi pusat tanpa suara riset dan pengetahuan hanyalah ruang rapat yang hampa. Integrasi keduanya bukan saja memberi legitimasi, melainkan juga memastikan arah dan keberlanjutan kebijakan kebudayaan.“Wanita Budaya Bali — Pixabay. Diakses dari https://pixabay.com/id/photos/wanita-budaya-bali-teh-asia-5296386/pada 4 Oktober 2025. (Lisensi: Pixabay — bebas digunakan)”Sesungguhnya polemik siapa yang pantas menjadi menteri, kritik soal festivalisasi, maupun perdebatan anggaran memperlihatkan satu hal: kepedulian masyarakat terhadap kebudayaan. Itu adalah modal sosial yang berharga. Energi itu sebaiknya diarahkan bukan untuk saling menyalahkan, melainkan untuk mengawal kementerian agar benar-benar berpijak pada data, riset, dan ekosistem inklusif. Dengan begitu, kritik berubah menjadi dialog, kontroversi mencair, dan kebijakan berdiri di atas landasan yang adil serta bermartabat.Kementerian Kebudayaan lahir dengan janji besar. Janji itu hanya dapat ditepati bila setiap kebijakan dikawal oleh riset yang sahih dan ditopang oleh ekosistem paralel. Tanpa itu, kebudayaan berisiko menjadi tontonan megah yang cepat usai atau sekadar komoditas ekonomi tanpa jiwa. Dengan itu, kebudayaan akan menemukan wajah sejatinya, bukan sekadar festival atau cuan, melainkan fondasi peradaban bangsa.