Pergeseran Peran Gender dalam Tren Genderless Beauty di Jepang dan Indonesia

Wait 5 sec.

Foto oleh Markus Winkler di UnsplashPergeseran peran gender: ketika standar kecantikan tak lagi terbatas pada laki-laki atau perempuan, industri mulai merangkul ekspresi diri yang lebih bebas dan inklusif.Genderless Beauty Trend adalah sebuah gerakan yang muncul karena pengaruh budaya populer Jepang yang sejak lama memiliki gaya netral dan tidak terlalu kaku (fleksibel) terhadap perbedaan gender. Budaya kawaii (imut) dan Harajuku Fashion mendorong munculnya figur publik pria dengan tampilan lembut dan bersih, sehingga memperluas definisi kecantikan di Jepang.Pada awalnya, Make up dan kecantikan selalu identik dengan perempuan. Dalam masyarakat tradisional, perempuan dipandang perlu merias diri untuk memenuhi standar kecantikan yang dihubungkan pada mereka. Hingga saat ini pun, banyak perempuan yang ingin tampil cantik tidak hanya dengan menggunakan make up, tetapi juga melalui perawatan diri seperti treatment di salon kecantikan maupun rutinitas perawatan kulit (skincare routine). Fakta sosial ini memperlihatkan bagaimana konstruksi sosial masih menempatkan perempuan dalam lingkaran standar kecantikan yang kuat. Namun, perkembangan sosial dan budaya populer di era globalisasi telah membawa perubahan signifikan. Make up dan perawatan diri kini tidak lagi eksklusif bagi perempuan, melainkan juga mulai digunakan oleh pria.Di Jepang, misalnya, penggunaan perawatan kulit dan make up semakin umum dan bahkan dianggap sebagai bagian dari profesionalisme. Industri kosmetik besar telah meluncurkan serangkaian produk khusus dari seorang pria, dan tren kecantikan non-gender (genderless beauty trend) membuat perbatasan antara maskulin dan semakin banyak feminin. Sementara itu, di Indonesia, penggunaan make up pria selalu dihadapkan dengan penentangan dan stigma sosial. Make up bahkan lebih melekat pada citra perempuan, sehingga pria yang memakainya seringkali dianggap melanggar norma gender. Namun, pengaruh budaya global seperti K-POP, media sosial dan dunia hiburan mulai membuka ruang bagi para pemuda Indonesia untuk mengeksplorasi penampilan mereka.Dari fenomena ini, menjadi simbol bahwa pergeseran peran gender semakin jelas dalam masyarakat. Jika sebelumnya make up menjadi simbol feminitas, maka kini make up menjadi wadah ekspresi bagi pria. Pergeseran tersebut tidak hanya menunjukkan perubahan secara maskulinitas atau menunjukkan feminitas, tetapi juga menandakan bahwa pergeseran identitas peran gender saat ini semakin dipahami secara fleksibel. Perubahan ini turut mencerminkan dinamika sosial yang berkembang di era modern, di mana batas antara peran laki-laki dan perempuan tidak lagi bersifat kaku. Pengaruh globalisasi, media sosial, dan industri hiburan berperan besar dalam membentuk cara pandang baru terhadap penampilan dan identitas diriPerkembangan tren Genderless Beauty yang ada di Jepang sangatlah banyak didukung oleh masyarakat, sehingga banyak dari kalangan pria yang mulai merawat dirinya sendiri, tidak hanya berlaku pada perempuan saja. Namun tren tersebut masih kurang vokal terdengar di masyarakat Indonesia, atau bahkan hal tersebut adalah hal yang tabu dalam konservatif masyarakat. Akan tetapi, terdapat beberapa lelaki di Indonesia yang mulai memiliki kesadaran untuk merawat dirinya meski tidak begitu rutin seperti perempuan.Di Jepang, mulai banyak iklan atau bahkan bermacam-macam produk perawatan diri yang khusus digunakan untuk pria. Sedangkan di Indonesia hal tersebut masih banyak ditemui di beberapa kota besar. Fenomena ini menunjukkan bahwa kesadaran pria terhadap perawatan diri di Indonesia masih berada pada tahap awal dibandingkan dengan Jepang, yang telah lebih dulu menerima tren tersebut sebagai bagian dari gaya hidup modern.Di Jepang, Shiseido meluncurkan produk kosmetik khusus pria seperti “Uno” dan “Shiseido Men” yang menampilkan model laki-laki dengan wajah bersih dan rapi. Di sisi lain, di Indonesia mulai muncul brand seperti MS Glow for Men dan iklan Scarlett Men yang mempromosikan pentingnya perawatan kulit bagi laki-laki.Tren Genderless Beauty menunjukkan adanya peningkatan kesadaran akan pentingnya perawatan diri di kalangan pria. Tren ini ditandai dengan munculnya berbagai produk kosmetik, skincare, dan iklan yang menampilkan pria dengan penampilan bersih, rapi, dan estetik. Di Jepang, praktik tersebut telah menjadi bagian dari budaya populer dan membentuk identitas maskulin modern yang lebih terbuka terhadap ekspresi diri. Sementara itu, di Indonesia, tren serupa mulai terlihat namun masih terbatas pada lingkungan urban dan kalangan muda yang terpapar budaya global. Perbedaan ini menunjukkan bahwa penerimaan terhadap praktik perawatan diri bagi pria di masing-masing negara berkembang dengan kecepatan dan konteks sosial yang berbeda.Popularitas figur publik seperti idol, model, atau influencer yang tampil dengan gaya lembut dan gaya netral turut memperkuat citra bahwa penampilan bukan lagi domain eksklusif perempuan. Perawatan diri bagi pria sering kali masih dipengaruhi oleh pandangan sosial yang mengaitkan kecantikan dengan feminitas, sehingga penerimaannya berjalan lebih lambat dibandingkan Jepang. Meski demikian, meningkatnya akses media sosial dan industri kecantikan lokal yang mulai memproduksi produk for men menunjukkan adanya perubahan sikap masyarakat terhadap peran dan ekspresi gender di ruang publik.Perbedaan respon terhadap tren Genderless Beauty antara Jepang dan Indonesia menunjukkan bagaimana konstruksi sosial mengenai peran gender dibentuk oleh nilai budaya dan sejarah masing-masing negara. Di Jepang, konsep estetika yang menggeser batas maskulinitas dan feminitas sebenarnya telah lama hadir melalui budaya bishōnen (美少年) atau “pemuda cantik,” yang memandang penampilan lembut dan rapi sebagai bentuk keindahan, bukan kelemahan. Budaya populer Jepang seperti idol group, iklan kosmetik, dan majalah fashion kemudian memperluas konsep ini, menjadikan perawatan diri sebagai simbol profesionalisme dan ekspresi diri bagi semua gender. Dengan demikian, masyarakat Jepang lebih mudah menerima gagasan bahwa kecantikan tidak terbatas pada perempuan.Sebaliknya jika di Indonesia, norma gender tradisional masih identik dalam kehidupan sosial, di mana penampilan maskulin sering diidentikkan dengan ketegasan dan kesederhanaan. Penggunaan make up atau skincare oleh pria terkadang masih dianggap sebagai perilaku yang “kurang lazim” dan berpotensi menimbulkan kontroversi. Meskipun demikian, pengaruh globalisasi dan media digital perlahan mengubah cara pandang generasi muda terhadap konsep kecantikan dan identitas gender. Hal ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia sedang berada pada fase transisi menuju pemahaman yang lebih fleksibel mengenai peran gender dan ekspresi diri.Oleh: Sealma Gustia Septi Isro Bahasa dan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga