Bahaya negara predatoris yang akan kian memiskinkan dan memperlebar ketimpangan

Wait 5 sec.

● Sepanjang tahun ini hampir tidak ada peristiwa baik yang datang ke masyarakat.● Publik justru dipertontonkan tingkah laku antikritik pemerintah.● Jika sikap pemerintah seperti ini berlanjut, Indonesia terancam menjelma menjadi negara predatoris.Memasuki kuartal IV 2025, perkembangan dan dinamika perekonomian nasional amat suram. Melansir Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia meroket tembus lebih dari 60%.Tengok saja ragam rangkaian peristiwa seperti daya beli masyarakat yang menurun, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) berskala nasional, fluktuasi nilai tukar rupiah, hingga berujung melebarnya ketimpangan antara si miskin dan si kaya.Masalahnya, alih-alih berbenah dan merancang kebijakan yang berpihak pada publik, pemerintah justru lebih sering mempertontonkan sikap antikritik. Dalam sejumlah peristiwa, suara masyarakat yang seharusnya menjadi bahan evaluasi malah ditanggapi dengan langkah-langkah represif oleh aparat negara.Rangkaian dinamika ini mengindikasikan hal yang tidak sedap didengar dan tidak layak diamini. Jika sikap pemerintah seperti ini berlanjut, Indonesia terancam menjelma menjadi negara predatoris.Apa ciri-ciri negara predatoris?Dalam sebuah kajian ekonomi politik, indikasi sebuah negara predatoris (predatory state) muncul ketika para elite, baik di bidang ekonomi, politik, maupun militer, memonopoli akses terhadap sumber daya hingga bisa mencapai kadar yang melumpuhkan perekonomian nasional. Segelintir kelompok berprivilese ini memangsa hak mayoritas publik luas dengan berbagai manuver dan kebijakan yang memihak kepentingannya, alih-alih kepentingan umum. Baca juga: Penyebab melebarnya ketimpangan ekonomi dari sudut pandang perpajakan Pertumbuhan ekonomi yang dibangun berlandaskan praktik predatoris pasti berpusat pada sektor ekstraktif yang ujung-ujungnya memperlebar jurang ketimpangan. Contoh sektor ekstraktif adalah perkebunan berskala besar dan pertambangan.Rekam jejak sejarah membuktikan bahwa kekuasaan dan kemakmuran yang hanya bertumpu pada segelintir orang tidak pernah melahirkan kesejahteraan yang merata.Celakanya, jurang ketimpangan itu justru didukung oleh para pemangku kebijakan dan elite politik. Berbagai instrumen negara juga turut aktif secara sadar melayani kepentingan segelintir pihak.Menganak-emaskan sektor ekstraktifPenelitian empiris dari The Hague University menunjukkan bagaimana para elite politik dan bisnis di Indonesia bermufakat dalam industri ekstraktif, salah satunya di sektor perkebunan kelapa sawit. Mereka melegitimasi perampasan tanah adat serta melindungi kepentingan korporasi lewat aparat keamanan. Masyarakat adat terus disisihkan. Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara dalam beleid UU Nomor 2 Tahun 2025 pun hanya menguntungkan politisi dan pebisnis yang saling terafiliasi. Dalam ketentuan baru tersebut, masih tidak ada aturan tegas mengenai tata ruang terhadap risiko rusaknya alam dan masyarakat sekitar.Ciri lain negara predatoris adalah kerap melakukan intervensi dan menetapkan kebijakan yang menabrak mekanisme dan kompetisi pasar yang sehat untuk menghasilkan layanan dan produk bagi publik yang terbaik. Tunas kecil Indonesia menjadi negara predatoris terlihat dari keengganan pemerintah, melalui PT Pertamina, untuk menambah kuota impor bahan bakar perusahaan minyak swasta seperti Shell dan BP. Keputusan pemerintah ini takkan disayangkan masyarakat kalau Pertamina bisa memberikan pelayanan dan kualitas bahan bakar yang baik. Faktanya, Pertamina malah tersandung skandal megakorupsi pengoplosan pertamax dengan pertalite.Sejalan dengan temuan Quimpo (2009) bahwa dalam rezim predator, klientelisme (relasi kekuasaan politik melalui jaringan informal hubungan “patron-klien” alias tuan dan hamba) dan patronase (pemberian jabatan atau sumber daya oleh elite untuk mempertahankan dukungan) menjadi gaya berpolitik yang lazim dipraktikkan oleh para elite. Baca juga: Menanti intensifikasi perpajakan industri ekstraktif untuk menyokong penerimaan negara Patronase terlihat nyata dalam maraknya politik dinasti, yang membuka jalan bagi korupsi sistematis dan mengikis akuntabilitas kebijakan publik. Studi kami menunjukkan bahwa praktik semacam ini tidak lagi sekadar penyimpangan, melainkan telah direkayasa secara kelembagaan untuk menjadi mekanisme kekuasaan itu sendiri. Mengakar hingga legislatif dan penegak hukumMahalnya ongkos politik di Indonesia menjadi privilese besar bagi pebisnis untuk jadi pejabat penting negara dari eksekutif, yudikatif, hingga legislatif di Tanah Air. Bagi pemerintah dan partai politik pun, merekrut pebisnis merupakan cara paling efisien untuk memenangi perlombaan demokrasi. Tentu sebagai timbal balik, partai politik kerap mengangkat pengusaha berkantung tebal (atau utusannya) ke lingkaran kekuasaan untuk memperkokoh dominasi mereka di eksekutif maupun legislatif.Alhasil, lebih dari 60% anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan pebisnis. Padahal mereka disumpah menjadi wakil rakyat yang mengawasi kinerja eksekutif atau pemerintah.Pun di tingkat eksekutif (pemerintah). Jabatan penting setingkat menteri, wakil menteri, dan kepala badan negara diisi kurang lebih 60 orang dari partai politik. Tak heran, berbagai produk kebijakan dan perundang-undangan yang dilahirkan hanya menguntungkan segelintir pihak. Sebab, kondisi untuk bisa mengakomodasi kepentingan mereka telah terpenuhi. Baca juga: Reformasi total kepolisian mendesak–tapi secara politik tidak akan mudah Karena itu pula, ungkapan hukum “runcing ke bawah tapi tumpul ke atas” benar adanya. Kekerabatan politik semacam ini membuat program-program pemerintah yang ideal bagi warga banyak, seperti penanggulangan kemiskinan, kerap tersendat karena justru disalahgunakan untuk kepentingan jejaring dinasti. Studi CELIOS menunjukkan bahwa kelompok super kaya justru membayar pajak paling sedikit. Padahal jika pemerintah menerapkan tambahan tarif pajak kekayaan hanya sebesar 2% saja dari 50 orang terkaya, Indonesia bisa menambah pundi-pundi negara sebesar Rp81,6 triliun setiap tahun.Gambaran ini menegaskan betapa negara predatoris tidak hanya menciptakan ketimpangan ekonomi, tetapi juga merusak konsep hakiki legitimasi politik dan hukum yang mengorbankan kepentingan rakyat banyak.Bisakah kita keluar dari jerat negara predatoris?Jangankan untuk menikmati hasil sumber daya alam nasional yang melimpah. Saat ini jutaan orang tidak memiliki tempat tinggal karena tingginya harga tanah. Ketimpangan akses terhadap kepemilikan lahan disebabkan absennya kebijakan politik pemerintah dalam distribusi tanah yang berkeadilan.Pembiaran atas kepemilikan lahan beserta manfaatnya oleh sekelompok kecil orang yang tanpa batas menunjukkan kesenjangan mendalam akan distribusi sumber daya untuk kesejahteraan masyarakat luas. Baca juga: Mengapa rakyat pantas marah? Melihat protes sosial dari kacamata persoalan banjir di Indonesia Aksi predatorisme negara yang dibiarkan hanya akan menjerumuskan kita pada krisis ekonomi yang lebih dalam dan sulit dipulihkan. Selain makin miskin, risiko terjadinya konflik bisa dikatakan ibarat bom waktu yang bisa meledak kapan saja.Sebagaimana istilah “serakahnomics” yang pernah disinggung Presiden Prabowo Subianto, jalan keluar hanya mungkin ditempuh dengan mengembalikan fungsi negara melalui pembenahan institusi secara menyeluruh: menempatkan ekonomi pada logika kemakmuran bersama dan menata politik dalam kerangka negara hukum yang menjamin keadilan sosial. Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.