Ilustrasi: https://pixabay.com/id/photos/jam-uang-pertumbuhan-tumbuh-waktu-2696234/“Mengapa sekolah sering punya dana, tapi tetap merasa kekurangan?”Pertanyaan ini mungkin pernah muncul di benak pihak sekolah. Setiap tahun sekolah menerima dana BOS, kas komite, maupun dukungan orang tua. Namun, di balik itu semua, keluhan tentang dana yang tidak cukup tetap sering terdengar. Mengapa bisa begitu?Fenomena ini mengingatkan saya pada sebuah buku berjudul The Psychology of Money karya Morgan Housel. Buku ini menjelaskan bahwa "mengelolah keuangan tidak memiliki korelasi dengan kecerdasan, namun berhubungan dengan perilaku, emosi dan cara berpiki terhadap uang. Akan tetapi perilaku merupakan sesuatu yang sulit untuk diajar bahkan kepada orang cerdas sekalipun" Sering kali masalah keuangan muncul bukan karena jumlah dana kurang, tetapi karena cara kita mempersepsikan dan menggunakannya.Uang Bukan Sekadar LogikaHousel menegaskan bahwa uang adalah cermin perilaku manusia. Ada tiga konsep penting dari bukunya yang relevan dengan dunia pendidikan. Pertama, perbedaan antara kaya dan merasa cukup. Banyak orang terus merasa kekurangan meski memiliki banyak, karena tidak pernah puas. Kedua, kebiasaan kecil lebih penting daripada strategi besar. Keuangan sehat lahir dari kebiasaan disiplin, bukan dari satu langkah spektakuler. Ketiga, menunda kepuasan dan menghindari keserakahan. Keputusan finansial yang tergesa sering berujung pada penyesalan.Relevansi dengan Keuangan SekolahKetiga gagasan itu ternyata sangat dekat dengan kehidupan sekolah. Pertama, dalam hal rasa cukup. Tidak jarang sekolah merasa kekurangan padahal dana sudah ada. Begitu dana BOS turun, langsung muncul daftar panjang kebutuhan tambahan. Akibatnya, dana cepat habis dan sekolah kembali merasa kekurangan.Kedua, tentang kebiasaan kecil yang konsisten. Pengelolaan keuangan sekolah sering difokuskan pada anggaran besar tahunan. Padahal, keberhasilan sangat ditentukan oleh hal sederhana: pencatatan yang rapi, transparansi, dan penyusunan prioritas. Inilah kebiasaan yang membangun kepercayaan semua pihak.Ketiga, menunda kepuasan dan mengendalikan keinginan. Tidak jarang sekolah tergoda membeli fasilitas yang tampak keren, padahal ada kebutuhan dasar yang lebih mendesak. Menahan diri dari pengeluaran impulsif membantu sekolah memanfaatkan dana untuk hal-hal yang benar-benar berdampak jangka panjang bagi siswa.Pelajaran untuk SekolahDari buku The Psychology of Money, ada beberapa pelajaran berharga bagi sekolah. Pertama, belajar merasa cukup. Tidak semua kebutuhan harus dipenuhi sekaligus. Fokuslah pada hal yang paling mendukung pembelajaran. Kedua, konsistensi lebih penting daripada kejutan besar. Disiplin, transparansi, dan laporan rutin jauh lebih bernilai daripada sekali dapat dana besar tanpa pengelolaan jelas. Ketiga, keberanian menunda kepuasan. Sekolah yang bijak tidak langsung menghabiskan dana, melainkan menyisihkannya untuk program jangka panjang seperti literasi, peningkatan kapasitas guru, atau perbaikan fasilitas dasar.Selain itu, ada satu hal penting: membangun kepercayaan melalui transparansi. Keuangan sekolah melibatkan banyak pihak—pemerintah, guru, orang tua, hingga komite. Jika pengelolaan dilakukan secara terbuka, semua pihak merasa dihargai. Kepercayaan inilah modal psikologis yang membuat dana sekolah lebih sehat dan berkelanjutan.Ilustrasi: https://pixabay.com/id/photos/rakyat-cewek-cewek-wanita-siswa-2557399/Mengelola keuangan sekolah memang tidak sesederhana mencatat angka. Di baliknya ada harapan, kebutuhan, dan kepercayaan dari banyak pihak. The Psychology of Money mengingatkan kita bahwa uang bukan hanya soal logika, melainkan juga soal sikap.Sekolah yang cerdas finansial bukanlah yang punya dana paling besar, melainkan yang mampu mengelola dana dengan rasa cukup, kebiasaan konsisten, dan keberanian menunda kepuasan demi masa depan siswa. Transparansi dan kepercayaan menjadi fondasi yang lebih berharga daripada sekadar saldo kas.Akhirnya, uang hanyalah alat. Ia baru bermakna jika digunakan dengan bijak untuk tujuan mulia: mendukung pendidikan, menumbuhkan potensi anak, dan menciptakan lingkungan belajar yang sehat. Karena itu, mari kita kelola dana sekolah bukan hanya dengan kalkulator, tetapi juga dengan hati dan pikiran yang jernih.