Menteri ESDM Bahlil Lahadalia ditemui di Kantor Kementerian Investasi, Jakarta Selatan pada Rabu (1/10/2025). Foto: Argya D. Maheswara/kumparan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mendorong agar pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) berbasis etanol dalam bensin alias bioetanol bisa meningkat di atas 5 persen (E5).Hal itu dikatakan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi. Ia mengatakan, Bahlil telah berupaya agar bauran etanol lebih besar dari saat ini. Terlebih, menurut Eniya, semakin tinggi kadar etanol dalam BBM, maka akan semakin baik juga dampak pada mesin kendaraan yang digunakan.“Pak Menteri (Bahlil) malah mendorong lebih besar (kadar etanol dalam BBM),” kata Eniya dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025, Senin (6/10/2025).Lebih lanjut, Eniya menjelaskan PT Pertamina (Persero) telah melakukan uji coba pasar atau trial market Pertamax Green 95 untuk komposisi etanol di dalam bensin.Menurut Eniya, Pertamax dipilih karena merupakan bahan bakar minyak (BBM) non Public Service Obligation (PSO). Hal ini dikarenakan hingga kini belum ada arahan untuk menyasar BBM PSO dalam program bauran energi bersih ini.“Cuma posisi sekarang Pertamina itu memang ada trial market di 104 SPBU. Nah dari situ, pertamax Green 95 itu 5 persen, tetapi dipastikan suplainya dari dalam negeri, campurannya dipastikan 5 persen, dan keinginan kita sih lebih dari itu,” jelasnya.Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi saat ditemui di Hotel Pullman Thamrin, Senin (6/10/2025). Foto: Fariza/kumparan.Kemampuan Blending Pertamina Capai 20 PersenEniya juga menjelaskan, secara teknis, kendaraan di Indonesia sudah mampu menggunakan bahan bakar dengan campuran etanol hingga 20 persen (E20). Pertamina pun disebut sudah siap melakukan blending di tingkat tersebut.“Engine-engine yang ada, mau merek apapun, secara teknis maksimal bisa 20 persen. Dan kemampuan blending di fasilitas Pertamina, seperti di Plumpang, juga sudah bisa sampai 20 persen,” katanya.Namun, tantangan utama bukan pada sisi teknis, melainkan ketersediaan bahan baku etanol. Pemerintah berkomitmen untuk tidak bergantung pada impor dalam penyediaan etanol.“Kalau mau mandatorikan juga kita bingung, sumbernya dari mana. Karena Pak Menteri (ESDM) tidak mau impor,” tambah Eniya.Pada saat yang sama, ada potensi produksi etanol mencapai 150 ribu hingga 300 ribu kiloliter per tahun di Papua, namun perhitungan finalnya masih dalam tahap pembahasan.“Di Papua kalau tidak salah ada potensi 150 ribu sampai 300 ribu kiloliter etanol per tahun. Tapi hitungannya masih kami bicarakan,” kata Eniya.Eniya mengatakan, sudah banyak negara yang menerapkan etanol sebagai campuran bahan bakar. Misalnya, Amerika Serikat telah menggunakan E20, Brasil memiliki standar E35 hingga E100, sementara Thailand dan India juga menerapkan E20. Di kawasan Eropa, campuran E10 bahkan sudah menjadi standar.“Di petanya itu Amerika sudah E20, Brasil sudah fleksi ya, tapi kebijakan dia kalau nggak salah E35 sama E100. Jadi di tengahnya terserah, baseline-nya E35. Terus kayak Thailand E20, India juga E20, terus yang Eropa-Eropa sudah E10 semua itu,” jelasnya.