Proses pengemasan Makan Bergizi Gratis (MBG) di SPPG Musi Raya di Rajabasa, Bandar Lampung | Foto : Eka Febriani / Lampung GehLampung Geh, Bandar Lampung – Dokter Spesialis Gizi Klinik Rumah Sakit A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung, dr. Tutik Ernawati, M.Gizi, Sp.GK, menilai seluruh tahapan dalam penyelenggaraan program Makan Bergizi Gratis (MBG) memiliki potensi risiko kontaminasi pangan.Namun, ia menegaskan, risiko terbesar biasanya terjadi setelah makanan diolah dan siap disajikan.“Sebenarnya semua tahap memiliki risiko kontaminasi. Karena itu, dalam sistem keamanan pangan ada tim HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) yang menilai keamanan bahan dari hulu hingga hilir,” kata dr. Tutik saat diwawancarai Lampung Geh, Senin (6/10).Menurutnya, meskipun makanan berasal dari dapur yang sama, tidak menutup kemungkinan kasus keracunan hanya terjadi pada sebagian penerima. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan waktu penyajian dan distribusi yang tidak seragam.“Bisa saja makanan yang pertama matang justru dikonsumsi paling akhir. Padahal dalam penyimpanan ada prinsip first in, first out yang pertama masuk harus pertama keluar, tentu demikian juga dalam tahap proses pengolahan sampai dikonsumsi," ujarnya.Tutik menjelaskan, penyelenggaraan makanan dalam skala besar, termasuk program MBG, memiliki aturan ketat mulai dari perencanaan menu, pembelanjaan, penerimaan bahan, pengolahan, hingga distribusi. Seluruh proses tersebut harus memenuhi standar keamanan pangan agar terhindar dari kontaminasi.“Setiap bahan makanan yang diterima harus dalam kondisi baik, layak, aman, dan halal. Bila memenuhi kriteria tersebut, baru bisa masuk ke proses pengolahan,” jelasnya.Dokter Spesialis Gizi Klinik Rumah Sakit A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung, dr. Tutik Ernawati, M.Gizi, Sp.GK | Foto : Eka Febriani / Lampung GehIa menambahkan, sistem penyediaan bahan makanan juga perlu diperhatikan. Bahan yang dibeli dan langsung diolah memiliki perlakuan berbeda dengan bahan yang disimpan untuk beberapa hari ke depan.“Bahan makanan dibedakan antara bahan kering dan bahan basah. Daging yang akan diolah dalam 24 jam ke depan atau seminggu kemudian tentu memiliki perlakuan penyimpanan yang berbeda, dan harus disimpan dalam kondisi bersih, suhu yang sesuai, serta dipantau dengan alat pengukur suhu agar tetap stabil,” jelas Tutik.Selain bahan baku, kondisi tempat pengolahan juga menjadi faktor penting. Dapur harus memenuhi standar kebersihan, menggunakan air bersih, dan didukung peralatan yang sesuai ketentuan. Para pengolah makanan pun wajib dalam kondisi sehat serta tidak mengidap penyakit menular.“Pengolah makanan harus sehat dan menggunakan alat pelindung diri (APD). Itu penting bukan hanya untuk keselamatan kerja, tetapi juga mencegah makanan terkontaminasi, misalnya dari percikan ludah saat berbicara,” katanya.Tutik menegaskan, makanan matang hanya layak dikonsumsi maksimal empat jam setelah selesai diolah. Bila melebihi batas waktu tersebut, risiko pertumbuhan bakteri meningkat.“Alat dan petugas distribusi juga harus memenuhi syarat kebersihan dan keamanan. Proses ini krusial untuk memastikan makanan tetap aman dikonsumsi,” tegasnya.Sebagai bagian dari sistem pengawasan, setiap dapur penyelenggara makanan diwajibkan menyimpan sampel makanan selama 1 hingga 2 x 24 jam dalam suhu pendingin. Sampel ini berfungsi sebagai bahan evaluasi bila terjadi dugaan keracunan makanan.“Namun sampel hanya valid jika disimpan dengan benar dan tidak terkontaminasi. Bila makanan dikonsumsi setelah lebih dari 4 atau bahkan 10–12 jam, tentu kondisinya sudah berbeda dari sampel yang disimpan,” kata Tutik.Ia menekankan, pentingnya konsistensi penerapan standar keamanan pangan di setiap tahapan proses.“Jika semua proses dijalankan sesuai standar, mulai dari perencanaan, penerimaan bahan, pengolahan, tenaga kerja, sumber air, peralatan, bangunan, hingga distribusi, maka risiko keracunan bisa diminimalkan,” pungkasnya. (Cha/Lua)