Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: KemendikbudristekPendidikan merupakan hak setiap warga negara tanpa terkecuali, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya praktik tidak sehat yang menghambat prinsip keadilan tersebut. Salah satu fenomena yang sering muncul adalah praktik sogokan atau pemberian sejumlah uang oleh orang tua agar anak mereka dapat masuk ke sekolah favorit. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: Sekolah bagus sebenarnya untuk siapa? Apakah untuk anak-anak yang memang berprestasi dan layak, atau hanya untuk mereka yang memiliki kekuatan finansial?Fenomena Sogokan di Sekolah Favorit dalam Dunia PendidikanSekolah yang dianggap “bagus” biasanya memiliki citra prestasi tinggi, fasilitas memadai, dan lulusan yang sukses melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Tidak heran jika sekolah-sekolah semacam ini menjadi "rebutan" dari banyak orang tua. Namun, keterbatasan kuota penerimaan siswa sering memunculkan jalan pintas berupa sogokan.Praktik ini kerap terjadi secara terselubung, baik melalui perantara maupun langsung kepada oknum yang berwenang. Akibatnya, proses seleksi menjadi tidak adil karena anak-anak dengan kemampuan akademik tinggi bisa tersingkir hanya karena tidak memiliki akses finansial.Ketidakadilan dalam Akses PendidikanFenomena sogokan mempertegas ketidakadilan dalam sistem pendidikan. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana mobilitas sosial justru berubah menjadi instrumen reproduksi ketimpangan, Anak-anak dari keluarga mampu cenderung lebih mudah masuk ke sekolah berkualitas, sedangkan anak-anak dari keluarga menengah ke bawah harus menerima kenyataan belajar di sekolah yang dianggap “biasa” meskipun mereka memiliki potensi besar. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan masih dipengaruhi oleh privilege ekonomi, bukan semata kemampuan dan kerja keras siswa.Dampak pada Dunia PendidikanPraktik sogokan memberikan dampak negatif yang cukup besar. Pertama, menurunkan integritas lembaga pendidikan karena proses seleksi tidak lagi transparan. Kedua, menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan. Ketiga, memperlebar jurang sosial antara kelompok kaya dan miskin. Lebih jauh lagi, praktik ini dapat menanamkan nilai yang keliru. Anak-anak yang mengetahui orang tuanya menyogok dapat menilai bahwa kesuksesan tidak perlu diraih dengan usaha, tetapi cukup dengan uang atau jalur belakang. Ini jelas bertentangan dengan nilai pendidikan yang seharusnya menanamkan kejujuran, kerja keras, dan keadilan.Kaitan dengan Nilai PendidikanSejatinya, pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga membentukan karakter dan moral. Praktik sogokan dalam penerimaan sekolah jelas melemahkan fungsi tersebut.Di satu sisi, sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk memberikan contoh integritas dan transparansi. Di sisi lain, orang tua juga berperan penting dalam memberikan teladan kepada anak bahwa kejujuran dan usaha adalah nilai utama yang harus dijunjung tinggi.Prinsip ini sejalan dengan semangat pendidikan karakter di Indonesia, yang menekankan pentingnya nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab dalam proses belajar.Fenomena sogokan demi mendapatkan sekolah favorit menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam hal keadilan dan integritas. Pada akhirnya, sekolah bagus hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki modal ekonomi, bukan semata berdasarkan prestasi dan kemampuan.Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kebijakan tegas, transparansi dalam sistem penerimaan siswa, dan penguatan pendidikan karakter sejak dini. Hanya dengan begitu, pendidikan benar-benar dapat menjadi jalan bagi semua anak, tanpa memandang status sosial dan ekonomi keluarganya.