Anggota TNI bersama relawan mengevakuasi korban keracunan di posko penanganan, Kantor Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (24/9/2025). (ANTARA FOTO/Abdan Syakura/foc)JAKARTA – Kasus keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) menarik perhatian luas. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengajak masyarakat untuk melakukan mitigasi untuk mencegah kejadian serupa di kemudian hari.Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mencatat sejak Januari hingga medio September 2025 ini tak kurang dari 5.360 anak mengalami keracunan akibat program MBG. Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji meyakini, jumlahnya bisa lebih besar karena selama ini tidak ada transparansi baik dari sekolah maupun pemerintah daerah.Pemerintah Kabupaten Bandung Barat bahkan menetapkan kasus keracunan massal sebagai Kejadian Luar Biasa pada Selasa (23/9), setelah ratusan siswa diketahui mengalami keracunan.Ketua IDAI Dr. dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A, Subsp.Kardio(K) menyampaikan keprihatiannya atas ribuan korban anak-anak keracunan setelah mengonsumsi menu MBG. Ia berharap keracunan serupa dapat dicegah mengingat program MBG masih terus berjalan.Kapolres Parigi Moutong AKBP Hendrawan menjenguk para siswa-siswi SMP Negeri 2 Taopa yang sedang menjalani perawatan medis di Rumah Sakit di duga keracunan makanan MBG di kabupaten itu, Kamis (25/9/2025). (ANTARA/HO-Polres Parimo)Ia menuturkan, butuh langkah penanganan yang sistematis untuk mengatasi keracunan makanan tersebut. MBG, kata Piprim, sebenarnya memiliki tujuan baik dalam memberikan asupan gizi kepada siswa. Namun, teknis pelaksanaannya perlu dikawal supaya tidak melenceng dari tujuan awal.“Jangan sampai kemudian kita abai terhadap pencegahan keracunan ini sehingga naudzubillah tiba-tiba muncul korban jiwa. Ini sangat-sangat tidak kita harapkan,” katanya.Perbedaan Keracunan dan AlergiProgram MBG terus mendapat sorotan karena sejumlah kejadian tak mengenakkan bagi penerimanya. Kasus keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program andalan Presiden Prabowo Subianto ini menjadi headline berita nasional dalam beberapa pekan terakhir.Di Banggai, Sulawesi Tenggara, sebanyak 251 siswa keracunan makanan, kemudian di Garut dan Bandung lebih dari 800 siswa mengalami masalah serupa. Insiden keracunan ini terjadi hanya dalam kurun waktu sepekan.Badan Gizi Nasional (BGN) menduga ada dua penyebab kasus keracunan makanan yang belakangan marak terjadi dalam program MBG, salah satunya akibat alergi terhadap makanan tertentu, seperti udang, telur, atau ikan tongkol.Wakil Kepala BGN Nanik Sudaryati Deyang mengklaim, sejumlah anak yang menjadi korban keracunan memang terbukti memiliki alergi makanan.Siswa menyantap makanan saat pelaksanaan uji coba makan bergizi gratis di SDN 07 Cideng, Jakarta, Senin (19/8/2024). (ANTARA/Muhammad Ramdan/tom/aa)Ketua Unit Kerja Koordinasi Emergensi dan Terapi Intensif Anak (UKK ETIA) IDAI Yogi Prawira menuturkan, keracunan berbeda dengan alergi makanan. Keracunan terjadi akibat mengonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi, baik yang berasal dari bakteri, racun parasit, virus, maupun bahan kimia. Yogi juga menyebutkan, keracunan dapat menimbulkan kejadian luar biasa karena satu sumber makanan bisa mencemari banyak orang.Sedangkan alergi merupakan reaksi sistem imun tubuh terhadap protein tertentu pada makanan yang dianggap berbahaya oleh tubuh seseorang. Namun, bagi individu lain yang tidak memiliki alergi, reaksi tubuhnya akan baik-baik saja.Dokter Piprim mengamini pernyataan Yogi bahwa apa yang terjadi beberapa waktu ke belakang ini bukanlah alergi, melainkan keracunan makanan.“Yang terjadi beberapa waktu belakangan yang heboh di media itu memang keracunan makanan, bukan alergi makanan. Sebab, ini terjadi bersamaan dalam satu waktu dan mengenai ribuan anak,” ucapnya, dalam diskusi media secara daring, Kamis (25/9/2025).Hindari DehidrasiKeracunan makanan, seperti yang dialami ribuan anak penerima program MBG, disebabkan berbagai hal. Beberapa bakteri yang sering dilaporkan menjadi penyebabnya adalah Salmonella, E Colli, Listeria, dan Clostridium botulinum.Selain itu, ada juga yang disebabkan virus, salah satunya, Hepatitis A. Penyebab lainnya adalah parasit dan bahan kimia.Tubuh manusia, kata Yogi, sebenarnya memiliki mekanisme pertahanan diri. Jadi, ketika menerima asupanan makanan atau minuman yang terkontaminasi, tubuh akan merespons untuk mengeluarkannya, lewat mual, muntah, nyeri perut, buang air besar (BAB), bahkan terkadang hingga BAB berdarah.Selain itu, bisa juga timbul gejala lebih sistemik yang tidak hanya mengganggu saluran cerna, tetapi juga menyebabkan demam, terutama jika disebabkan bakteri atau toksin. Gejala lainnya adalah nyeri kepala dan pandangan kabur untuk keracunan tertentu, salah satunya yang disebabkan bakteri Clostridium botulinum.Dari deratan gejala tersebut, Yogi menekankan satu hal yang perlu diwaspadai, yaitu tanda-tanda dehidrasi akibat muntah dan diare.“Jadi, saat terlihat mukosa, mulut kering, anak meminta minum terus-menerus, pusing, dan warna air seni lebih pekat, kemungkinan sudah terjadi dehidrasi dan kondisinya bisa berbahaya,” katanya.Edukasi Orang Tua dan GuruMengingat kasus keracunan akibat MBG sangat tinggi, penting untuk mengedukasi orang tua dan guru memahami gejala dan menangani keracunan makanan yang dialami anak.Pertolongan pertama yang harus dilakukan pada anak yang mengalami keracunan adalah mengistirahatkannya lebih dulu untuk membantu pemulihan. Dalam situasi ini, Yogi mengatakan pentingnya untuk memberikan minum sedikit-sedikit tapi sering untuk menggantikan cairan yang keluar.Setelah muntah dan diare berhenti, anak dapat diberikan makanan ringan yang lembut dalam porsi kecil, seperti bubur, pisang, dan roti. Namun, ia mengingatkan orang tua atau guru untuk tidak memberi obat-obatan yang bisa menghentikan diare. Jika ini dilakukan, justru akan menahan keluarnya bakteri atau toksin yang mengontaminasi makanan dan minuman dari dalam tubuh.Sedangkan untuk pencegahan, orang tua, guru, atau petugas di sekolah perlu diedukasi untuk mengenali makanan dan minuman yang tidak layak konsumsi. Misalnya, mengamati perubahan warna atau struktur makanan.Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S. Deyang memberikan keterangan kepada wartawan di Kantor Badan Gizi Nasional (BGN) di Jakarta, Jumat (26/9/2025). (ANTARA/Galih Pradipta/aa)“Yang harusnya padat jadi melunak, yang harusnya cair jadi menggumpal, kemudian mungkin jadi terpisah,” katanya.Pada dasarnya, Yogi tetap mendukung program MBG ini, namun mengingat kasus keracunan yang mencapai hampir 6.000 anak, ia menekankan pentingnya melakukan mitigasi agar lebih baik ke depannya.“Tentu kita mendukung program (MBG) pemerintah. Namun, pada saat terjadi satu kejadian luar biasa, waktunya kita untuk melakukan mitigasi dan bersama-sama belajar, apa sih yang kita bisa perbaiki ke depannya,” tandasnya.