Sumber: https://pixabay.com/id/photos/jabat-tangan-bisnis-9702435/Sistem penyelesaian sengketa medis secara konvensional, yaitu melalui jalur pengadilan (litigasi), seringkali menjadi pilihan yang mahal, memakan waktu, dan pada akhirnya, merusak hubungan fundamental antara pasien, keluarga, dan penyedia layanan kesehatan. Jalur litigasi dicirikan oleh proses formal yang panjang dan melelahkan, yang dapat menimbulkan ketidakpastian bagi semua pihak.Kasus sengketa medis melibatkan pembuktian yang rumit mengenai kelalaian, yang menuntut kehadiran saksi ahli, pengujian standar profesi, dan prosedur administrasi pengadilan yang berlapis. Hal ini membuat proses persidangan dapat memakan waktu bertahun-tahun. Durasi yang panjang ini menahan semua pihak dalam ketegangan emosional. Pasien atau keluarga korban terus hidup dalam ketidakpastian keadilan, sementara tenaga medis atau fasilitas kesehatan menghadapi ancaman profesional, yang dapat mengganggu fokus mereka pada pelayanan kesehatan. Proses banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK) memperpanjang penderitaan. Penyelesaian yang seharusnya memberikan kejelasan dan ketenangan justru berubah menjadi sumber stres berkepanjangan.Aspek finansial dan biaya tidak langsung dari litigasi seringkali menjadi beban yang tidak sepadan dengan hasil yang didapatkan. Penanganan kasus medis membutuhkan pengacara yang menguasai hukum kesehatan dan seringkali melibatkan biaya jasa yang besar. Selain itu, ada biaya pengadilan, biaya saksi ahli, dan biaya administrasi lainnya yang harus ditanggung, bahkan oleh pihak yang memenangkan perkara. Baik pasien maupun tenaga medis harus mengalokasikan waktu dan energi yang seharusnya digunakan untuk pemulihan, pekerjaan, atau pelayanan, demi menghadiri persidangan dan menyiapkan dokumen. Ini adalah kerugian produktivitas yang substansial. Bagi fasilitas kesehatan dan tenaga medis, seringnya kasus yang masuk ke pengadilan dapat menyebabkan peningkatan premi asuransi profesi, yang pada akhirnya dapat dibebankan kembali ke biaya layanan kesehatan masyarakat.Dampak terburuk dari litigasi adalah kerusakan permanen pada hubungan profesional, yang seharusnya didasarkan pada kepercayaan dan komunikasi. Pengadilan dirancang untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Hal ini memaksa pasien dan tenaga medis untuk saling menyerang, bukan mencari pemahaman bersama. Hubungan yang awalnya adalah penyedia jasa dan penerima layanan berubah menjadi musuh.Pasal 310 (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan adalah jantung dari perubahan paradigma penyelesaian sengketa medis. Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa, "Penyelesaian Sengketa Medis dan Kesehatan diutamakan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa." Frasa "diutamakan" menunjukkan bahwa APS (termasuk mediasi) bukan lagi sekadar pilihan sekunder, melainkan jalur pertama (primum remedium) yang harus ditempuh sebelum membawa sengketa ke pengadilan. Hal ini secara langsung mereduksi dominasi jalur litigasi yang bersifat adversarial. Pasal 310 (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan merinci bentuk-bentuk APS yang dapat dipilih oleh para pihak, "Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase." Meskipun terdapat tiga opsi (Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase), mediasi seringkali menjadi yang paling efektif dalam sengketa medis karena sifatnya yang non-formal, rahasia, dan berorientasi pada pemulihan hubungan. Mediasi memungkinkan komunikasi yang empatik dan mencapai kesepakatan yang dapat mengakomodasi kebutuhan emosional pasien (misalnya, permintaan maaf) yang tidak bisa diberikan oleh putusan pengadilan.Mediasi dirancang sebagai antitesis dari litigasi. Prinsip-prinsip utamanya memastikan bahwa penyelesaian sengketa medis berorientasi pada pemulihan hubungan, bukan penghukuman. Prinsip Sukarela (Voluntarism) menegaskan bahwa partisipasi dalam proses mediasi, dan penerimaan terhadap hasil akhirnya, harus didasarkan pada kemauan bebas dari kedua belah pihak (pasien/keluarga dan tenaga medis/faskes). Prinsip Kerahasiaan (Confidentiality) menyatakan bahwa mediasi adalah forum tertutup. Semua pernyataan, pengakuan, dokumen, atau tawaran yang diajukan selama proses mediasi bersifat rahasia dan tidak dapat digunakan sebagai bukti dalam proses hukum selanjutnya, kecuali disepakati lain. Prinsip Mengutamakan Solusi Win-Win (Keadilan Restoratif) bertujuan untuk mencapai solusi yang tidak hanya adil secara hukum tetapi juga memuaskan kebutuhan mendasar dari kedua belah pihak, sebuah konsep yang dikenal sebagai Keadilan Restoratif (Restorative Justice).Salah satu keunggulan terbesar mediasi dalam sengketa medis adalah kemampuannya untuk memelihara dan memulihkan hubungan antara pasien dan penyedia layanan, yang merupakan elemen penting untuk perawatan berkelanjutan. Hubungan antara pasien dan tenaga medis (dokter, perawat) adalah hubungan fiduciari, didasarkan pada kepercayaan mutlak. Ketika terjadi insiden medis, kepercayaan ini runtuh. Pengadilan (litigasi) bersifat permusuhan (adversarial). Pasien dan dokter diposisikan sebagai lawan yang saling menyerang dengan tujuan memenangkan kasus. Proses ini merusak kepercayaan dan hubungan pasien-dokter.Selain memulihkan hubungan, efisiensi waktu dan biaya adalah keunggulan praktis mediasi, terutama dalam konteks penyelesaian sengketa medis. Proses penyelesaian sengketa di pengadilan (litigasi) seringkali menjadi beban finansial dan waktu yang tidak perlu bagi semua pihak—pasien yang mencari keadilan dan penyedia layanan yang membela diri.Prinsip kerahasiaan dalam mediasi adalah keunggulan kritis dalam konteks sengketa medis, yang melibatkan data pribadi sensitif dan potensi kerusakan reputasi yang signifikan. Mediasi menawarkan lingkungan yang aman dan tertutup, yang tidak mungkin didapatkan melalui jalur litigasi (pengadilan). Keunggulan ini vital dalam sektor kesehatan, di mana informasi medis adalah data pribadi yang sensitif.Keunggulan utama mediasi adalah adanya kontrol pihak berperkara yang diwujudkan dalam prinsip otonomi dalam penyelesaian konflik. Dalam konteks sengketa medis, kontrol ini menjadi krusial karena memungkinkan solusi yang fleksibel, personal, dan restoratif, alih-alih keputusan kaku yang dipaksakan oleh pihak ketiga. Pasien dan tenaga medis/fasilitas kesehatan memegang kendali penuh atas proses mediasi dan substansi kesepakatan. Mereka sendiri, dibantu mediator, yang merumuskan dan menyetujui hasil akhir. Hal ini sangat kontras dengan jalur litigasi. Penyedia layanan dapat menawarkan kompensasi dalam bentuk layanan (misalnya, perawatan pemulihan gratis) atau setuju untuk melakukan perbaikan sistem internal yang sesuai dengan kapasitas mereka, alih-alih harus membayar denda finansial besar yang mungkin merusak operasional.Hambatan terbesar implementasi mediasi di bidang kesehatan adalah minimnya pemahaman dan kesadaran hukum, baik di kalangan pasien maupun tenaga medis. Banyak pasien yang dirugikan memiliki ekspektasi bahwa pengadilan adalah satu-satunya cara untuk memberikan efek jera atau mendapatkan ganti rugi finansial maksimal. Mereka tidak menyadari bahwa mediasi dapat menawarkan solusi yang lebih komprehensif, cepat, dan restoratif (seperti permintaan maaf, perbaikan sistem, dan kompensasi yang layak).Sengketa medis adalah jenis konflik yang unik. Berbeda dengan sengketa bisnis atau properti, sengketa medis melibatkan masalah yang sangat teknis (ilmu kedokteran), etis (profesionalisme), emosional (nyawa, cacat, trauma), dan hukum yang kompleks. Oleh karena itu, mediator umum tidak cukup; dibutuhkan Mediator Khusus Sengketa Medis. Mediator harus memahami malpraktik, standar profesi, hak dan kewajiban pasien-tenaga medis (sebagaimana diatur UU Kesehatan 2023), serta prosedur mediasi dan pengadilan agar kesepakatan damai sah dan dapat dieksekusi. Mediator juga harus memiliki pemahaman mengenai terminologi klinis, komplikasi yang wajar (risk of treatment), Standar Operasional Prosedur (SOP) faskes, serta etika kedokteran. Hal ini krusial agar mediator dapat mengidentifikasi akar masalah (apakah kelalaian atau risiko yang tidak terhindarkan). Mediator harus mempunyai kemampuan dalam memfasilitasi dialog emosional, membangun kepercayaan (terutama dalam kasus trauma), dan mendorong pihak medis untuk mengakui kegagalan sistem (bukan hanya kesalahan individu) sebagai bagian dari solusi restoratif.Tantangan kekuatan eksekutorial dalam mediasi sengketa medis adalah masalah hukum yang kritis, karena hal itu menentukan apakah kesepakatan damai benar-benar dapat dipertanggungjawabkan di mata hukum. Tanpa tindakan pengesahan lebih lanjut, Akta Perdamaian hanya memiliki kekuatan hukum sebagai perjanjian biasa. Jika salah satu pihak ingkar janji, pihak yang dirugikan harus mengajukan gugatan baru ke pengadilan untuk menuntut pelaksanaan kontrak tersebut, yang justru mengalahkan tujuan efisiensi mediasi.Keberhasilan implementasi mediasi di lapangan masih menghadapi tantangan serius. Rendahnya literasi hukum di kalangan pasien dan tenaga medis, terbatasnya ketersediaan mediator khusus yang menguasai aspek hukum dan klinis, serta kebutuhan untuk memastikan kekuatan eksekutorial kesepakatan damai, merupakan hambatan. Oleh karena itu, agar mediasi berfungsi sebagai fondasi utama penyelesaian sengketa, diperlukan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah dan organisasi profesi harus aktif menyelenggarakan edukasi dan pelatihan bersertifikat untuk mencetak Mediator Khusus Sengketa Medis. Sistem hukum harus diperkuat pengukuhan untuk menjamin kepastian hukum dan eksekusi atas Akta Perdamaian.