RDPU Komisi III bersama Guru Besar Antopologi Hukum Fakultas Hukum UB Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.S, Lokataru Foundation, Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan Aliansi Advokat Pemerhati Keadilan terkait RKUHAP, Senin (29/9/2025). Foto: Abid Raihan/kumparanKomisi III DPR RI beraudiensi bersama Lokataru Foundation di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (19/9). Audiensi itu membahas Revisi Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lokataru memberikan tiga poin masukan kepada Komisi III. Usulan itu mereka sampaikan berkaca dari kasus yang menimpa Direktur Ekeskutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, yang menjadi tersangka penghasut kerusuhan di Polda Metro Jaya.“Dalam pemaparan hari ini, kami mau angkat tiga poin penting karena ini berkaitan langsung dengan bukti faktual yang kami alami yaitu pada penangkapan Delpedro Marhaen selaku Direktur Eksekutif Lokataru Foundation dan juga Muzafar Salim,” ucap Staf Lokataru Foundation, Fauzan Alaydrus di hadapan para anggota Komisi III.Hal pertama yang mereka usulkan adalah penguatan hakim komisaris di Indonesia. Menurut Lokataru, seharusnya Indonesia memiliki hakim komisaris yang mengatur izin aparat penegak hukum (APH) dalam melakukan upaya paksa, seperti penahanan.“Jadi kami coba memberikan tiga identifikasi masalah apabila kita gak punya nih, hakim komisaris. Yang pertama adalah banyak korban salah tangkap. Kalau kita lihat catatan dari KontraS, KontraS mengatakan bahwa dalam setiap tahunnya ada puluhan yang menjadi korban salah tangkap oleh APH,” ucap Fauzan.Staf Lokataru Foundation, Fauzan Alaydrus di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat pada Senin (19/9/2025). Foto: Abid Raihan/kumparan“Pada akhirnya, penguatan hakim komisaris ini jadi relevan, karena apa? Pada saat APH akan melakukan upaya paksa, ia harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari hakim komisaris,” tambahnya.Lokataru menilai, bila ada hakim komisaris di Indonesia, kasus salah tangkap hingga kriminalisasi aktivis akan bisa berkurang.“Kalau hakim komisaris ada, dia akan mengurangi korban salah tangkap, ia akan mengurangi kriminalisasi aktivis, karena kita gak bisa pungkiri, banyak riset banyak penelitian, memang anak muda yang berdampak begitu besar terhadap RKUHAP,” ucap Fauzan.“Karena, dalam unjuk rasa pun bisa ditangkap sewenang-wenang, dalam melakukan suatu protes pun bisa ditangkap sewenang-wenang. Jadi penguatan hakim komisaris ini betul-betul harus dipertimbangkan,” tambahnya.Ia pun berkaca pada saat Delpedro ditangkap. Lokataru menilai, penangkapan Delpedro cacat karena belum ada crosscheck yang dilakukan APH dan belum ada bukti yang kuat.“Saya mau balik lagi ke fakta tadi. Kita punya bukti faktual yang kita gak buat-buat karena kita lihat sendiri, proses hukum acara pidana itu dilakukan, upaya paksa itu dilakukan,” ucap Fauzan.“Jam 11 malam dijemput tanpa ada bukti yang cukup, tanpa ada crosscheck silang, dari mana bukti tindak pidana dilakukan tanpa ada crosscheck silang, tanpa ada bukti yang cukup, tanpa prosedur yang cukup, prosedur yang sesuai. Pada akhirnya ini (hakim komisaris) yang dibutuhkan,” tambahnya.Suasana saat Magda Antista (59), ibunda Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, usai menjenguk putranya yang ditahan di Rutan Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (10/9/2025). Foto: Jamal Ramadhan/kumparanHakim komisaris adalah hakim yang bertugas mengawasi tindakan yang diambil aparat penegak hukum, dalam proses penyidikan dan penuntutan sebuah perkara tindak pidana.Di Indonesia sendiri, hakim komisaris belum berlaku. Namun, sempat jadi pembahasan di RKUHAP. Meski begitu, aturan hakim komisaris belum dimasukkan di dalam draf terbaru RKUHAP.Bila berlaku, hakim komisaris bisa menggantikan proses praperadilan yang kini masih terus digunakan di Indonesia.Selain soal hakim komisaris, Lokataru juga mengusulkan agar RKUHAP membenahi standar penahanan. Mereka mengeklaim, akibat standar yang tidak jelas, kini Delpedro sulit untuk dijenguk, bahkan mendapatkan bantuan hukum dari balik jeruji.“Akses keluarga dan bantuan hukum yang dibatasi. Ini juga bukti faktual yang kita alami, karena keluarga Delpedro Marhaen dan Muzafar Salim pada saat mau menjenguk dan membesuk anaknya tidak bisa, bahkan dibatasi,” ucap Fauzan.“Ini bagaimana? Apakah RKUHAP tidak mengatur itu? Atau memang bukan RKUHAP yang mengatur? Harusnya RKUHAP bisa mengatur hak-hak dari tersangka. Karena itu diatur, pak, dalam rules Nelson Mandela bahwa setiap keluarga harus mendapatkan hak membesuk bahkan mengirim surat dan lain-lain,” tambahnya.Selain itu, Fauzan menyebut Delpedro sulit untuk mengeluarkan surat dari dalam penjara. Ia pun juga diletakkan di sel khusus selama penahanan.“Nah, ini siapa yang ngatur juga? RKUHAP atau apa?” Ucap Fauzan.“Jadi, peraturan menteri atau peraturan Imipas, dirjennya, itu hanya mengatur aspek teknisnya. Tetapi RKUHAP harusnya bisa mengatur standar perlakuan terhadap tersangka atau terdakwa di dalam sel,” tambahnya.Poin terakhir yang menjadi masukan Lokataru adalah soal polisi menjadi penyidik utama. Mereka menilai, seharusnya tak ada institusi penegak hukum yang diberikan wewenang lebih dalam penyidikan suatu perkara pidana.“Ketiga soal super power kepolisian, yang di mana semua tindak pidana umum yang menjadi penyidik utamanya adalah kepolisian,” ucap Fauzan usai rapat.“Tadi kami sudah menyampaikan beberapa poin perihal data-data yang kami temukan apabila, kepolisian ini menjadi salah satu instrumen kekerasan paling besar dalam proses penyelidikan penyidikan dan lain lain dalam hal upaya paksa begitu,” tambahnya.Lokataru mendorong agar Komisi III betul-betul mengkaji soal rencana polisi menjadi penyidik utama tindak pidana umum.“Iya kami meminta kepada Komisi III DPR agar lebih menjadikan itu sebagai perhatian serius untuk bisa dikaji lagi secara akademis dan empirik juga,” ucap Fauzan.