Mengenal Maria Ulfah Santoso: Pejuang Hak Perempuan dalam UU Perkawinan

Wait 5 sec.

Maria Ulfah Santoso yang pernah menjabat sebagai Menteri Sosial era 1946-1947. (Wikimedia Commons)JAKARTA - Kehidupan kaum perempuan era penjajahan Belanda sedang tak baik-baik saja. Diskriminasi demi diskriminasi kerap dirasakan kaum perempuan. Bahkan, perempuan jadi yang paling merasakan dampak penjajahan. Akses mereka mereka terhadap hak-haknya terlampau sulit.Kondisi itu membuat Maria Ulfah Santoso tergerak. Perempuan bumiputra pertama yang meraih sarjana hukum ini bergerak memperbaiki nasib kaum perempuan. Kesetaraan gender jadi fokusnya. Gebrakan yang paling diingat adalah andilnya perjuangkan hak perempuan dalam Undang-Undang (UU) Perkawinan.Penjajahan Belanda punya imbas besar bagi nasib kaum perempuan. Mereka jadi kaum yang terpinggirkan. Perempuan dianggap sebagai orang yang paling merasakan kepedihan sebagai bangsa terjajah. Pemerintah kolonial Hindia Belanda kerap menganggap mereka hina – hanya berguna di dapur dan kasur.Kepedihan itu kian bertambah dengan diskriminasi yang hadapi kaum perempuan. Alih-alih setara dengan kaum perempuan Eropa, perempuan bumiputra justru kalah jauh dengan kaum laki-laki bumiputra. Akses itu antara lain di bidang pendidikan maupun pekerjaan.Perempuan dipandang tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Ujung-ujungnya hanya melayani suami saja. Jika mereka bekerja maka gaji yang diterima jauh lebih kecil dibanding kaum laki-laki. Belum lagi Kaum perempuan juga rendah di mata hukum. Mereka dengan mudah dicerai.Maria Ulfah Santoso, perempuan Indonesia pertama yang mendapatkan gelar sarjana hukum. (Wikimedia Commons)Mereka tak boleh protes di muka pengadilan. Mereka tak bisa pula mengajukan cerai ke pengadilan seperti kaum laki-laki. Sederet kepedihan itu membuat Itje bergerak. Itje (begitu ia sering disapa) yang notabene anak priayi segara memantapkan diri membela kaum perempuan.Perempuan kelahiran Serang 18 Agustus 1911 itu memandang pendidikan tinggi jadi ajiannya bela kaum perempuan. Ia mulanya tertarik jadi dokter. Namun, ia menganggap profesi itu tak dapat menunjang kehidupan perempuan bumiputra terangkat.Ia yang kemudian dapat akses pendidikan ke Belanda mulai memantapkan mimpi jadi perempuan bumiputra pertama dengan gelar serjana hukum. Jalan Itje terbuka. Ia mampu mengambil kuliah hukum di Universitas Leiden dan lulus pada 1933.Perkuliahan itu membuat kepekaan Itje terasah. Itje banyak melahap buku-buku. Itje jadi perempuan bumiputra pertama yang meraih gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum). Keberhasilan itu membuat Itje memantapkan langkah pulang ke Nusantara dan memperjuangkan kepentingan kaumnya.“Saya juga ingin sekembalinya saya di tanah air menyumbangkan tenaga dan pikiran saya untuk memajukan rakyat kita, khususnya kaum perempuan yang masih amat kurang pendidikannya. Saya juga kemukakan betapa besar pengaruh ‘Sumpah Pemuda’ pada saya waktu masih di bangku sekolah menengah di Jakarta.”“Setelah itu, rupanya Sutan Sjahrir sudah mengetahui bagaimana pikiran saya. Saya diajaknya ke pertemuan liga antikolonialisme yang diadakan di Gedung Bioskop di Hooge Woerd di Leiden. Di sana saya diperkenalkan kepada pembicara utama yang bernama Jef Last. Saya diberi buku mengenai kisah seorang gadis Tionghoa, seorang pejuang dan pengikut Mao Tse Tung (Mao Zi Dong),” ungkap Itje dalam buku Mengenang Sjahrir (2013).Pejuang Hak PerempuanKepulangan Itje ke Nusantara bawa semangat baru. Ia kian peka dengan nasib kaum perempuan. Apalagi, kehidupan perempuan yang sudah menikah. Ia melihat seorang perempuan dengan mudah diceraikan suaminya.Ada yang alasannya tak bisa menghasilkan keturunan. Ada juga yang hanya karena istrinya sakit. Posisi perempuan kian hina kala suami mereka mencoba melakukan poligami. Tindakan itu membuat Itje geram bukan main. Itje menyadari kaum perempuan di mata hukum tak bisa apa-apa – bahkan tak bisa gugat cerai suaminya. Namun, mereka harus mampu menelan semua stigma buruk dari masyarakat jadi janda. Kemudian, dianggap pula aib keluarga.Potret itu membuat Itje bergerak. Kaum perempuan tak boleh dianggap rendah. Itje pun meleburkan dirinya dalam kegiatan gerakan kaum perempuan. ia bergerak jadi ketua Komite Penyelidik Undang Undang Perkawinan Islam pada 1938. Ia menginginkan supaya hajat hidup kaum perempuan terangkat.Sederet aktivitas itu kemudian membuat Perdana Menteri Indonesia, Sutan Sjahrir mengangkatnya jadi Menteri Sosial pada 1946-1947. Namun, jabatannya sebagai menteri boleh singkat. Namun, perjuangannya bela hak kaum perempuan lewat Undang-Undang Pernikahan modern berlanjut.Puncaknya, Itje jadi bagian dari Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk (NTR) pada 1950. Ia bertugas memerika UU Perkawinan yang ada. Tujuannya supaya memberikan perubahan dan keadilan bagi kaum perempuan.Peran Itje yang paling besar adalah membuat kaum perempuan punya hak yang sama dalam mengajukan perceraian. Suatu hal yang dulunya hanya bisa dilakukan kaum laki-laki saja. Hasilnya gemilang sekalipun hak itu mulai berlaku lewat UU Nomor 1 ahun 1974 Jo Undang-undang nomor 7 tahun 1989.Isinya istri dan suami dapat mengajukan perceraian melalui sidang pengadilan. Andil Itje kemudian diakui banyak pihak. Hajat hidup kaum perempuan Indonesia jadi terangkat. Itje pun terus memperjuangkan emansipasi kaum perempuan. Ia tak mau kaum perempuan dipandang lemah.“Memang ada kaum pria yang mengejek: kerja keras bagi perempuan kan pelaksanaan dari emansipasi yang murni? Baiklah, tapi bukankah pria juga tidak diwajibkan mengandung dan melahirkan? Kalau sekiranya tubuh perempuan pekerja itu jadi rusak akibat kerja keras, apa jadinya anak-anak yang mereka kandung dan lahirkan?,” ujar Itje sebagaimana dikutip majalah Tempo dalam laporannya berjudul Ceramah Tentang Perempuan (1977).