Pengakuan Adaptasi Informal Warga dalam Tanggap Bencana Banjir

Wait 5 sec.

Dokumentasi Pribadi. Saat Kegiatan Pengenalan Tangguh Bencana Warga Pejaten yang dilakukan penulis bersama rekan-rekan di Prodi Hubungan Internasional Universitas Paramadina tahun 2022Curah hujan dengan intensitas tinggi dalam tahun ini telah terjadi cukup intensif. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tentu telah memiliki kebijakan dalam penanganan bencana banjir. Namun, penanganan banjir membutuhkan koordinasi banyak pihak dan sinergitas berbagai bidang ilmu dan lapisan kemasyarakatan agar budaya tanggap bencana dapat dioptimalkan sehingga dapat mengurangi dampak buruk dan penderitaan warga.Dalam artikel ini, penulis hanya memfokuskan kepada satu amatan berbasis sosial kemasyarakatan. Berdasarkan persinggungan penulis dengan beberapa komunitas atau individu warga yang pernah terdampak banjir di Jakarta maka penulis memberikan fokus bahwa pada dasarnya warga mampu membangun kapasitas adaptif. Misalnya warga yang telah mengalami kejadian banjir memiliki inisiatif melakukan mitigasi swadaya dengan mempertinggi bangunan rumahnya. Tentu, mitigasi swadaya ini membutuhkan biaya yang cukup memberatkan bagi warga kelompok menengah ke bawah, terutama bagi warga yang memiliki penghasilan harian. Mitigasi agar tidak terdampak banjir melalui bangunan rumah. Namun, apabila upaya tersebut tidak dapat menangkal banjir yang masuk ke rumah warga, maka di titik ini lah tindakan adaptasi secara swadaya dilakukan oleh warga. Berdasarkan beberapa temuan yang penulis dapatkan menunjukkan terdapat 3 jenis adaptasi warga yang telah dikelola secara informal yaitu penentuan status bencana, bertahan, dan penanganan tindak lanjut. Jenis adaptasi pertama adalah penentuan status bencana swadaya warga dengan cara dua hal. Pertama, kegiatan pengamatan ketinggian air di sungai yang diidentifikasi warga menjadi ukuran apabila bencana banjir terjadi. Kegiatan pengamatan secara swadaya yang menjadi dasar pertimbangan adaptasi mandiri berupa mengungsi ke tempat yang lebih aman atau menunggu informasi dari lingkup RT atau pun RW. Kedua, informasi warga tersebut menjadi penentuan status bencana kolektif untuk kemudian diumumkan oleh warga melalui pengeras suara masjid atau pun saluran whatsapp grup warga. Temuan ini pun sejalan dengan penelitian Roanne van Voorst yang berjudul ‘Formal and Informal Flood Governance in Jakarta, Indonesia’ tahun 2015 yang menyatakan untuk tindakan adaptasi, warga lebih mempercayai metode berbasis komunitas dan bersifat informal. Begitu pula dengan temuan penelitian Adam Madigliani Prana dan kawan-kawan dengan judul ‘Informal Adaptation to Flooding in North Jakarta, Indonesia’ tahun 2024 yang menunjukkan bahwa adaptasi warga menghadapi banjir dapat diterima warga apabila relevan dengan konteks lokal, penghidupan, dan penggunaan metode informal.Jenis adaptasi kedua adalah bertahan sebisa mungkin menghadapi banjir apabila tidak mengungsi atau tidak terevakuasi dengan bertahan di rumah dengan sementara berdiam di lantai atas yang tidak terkena banjir. Untuk makan pun, warga bertahan dengan makanan seadanya yang umumnya saat banjir terjadi hanya mengkonsumsi mi instan yang dianggap sebagai sumber kalori untuk menahan lapar.Jenis adaptasi ketiga yaitu penanganan tindak lanjut. Jenis adaptasi ini dapat dilangsungkan bagi warga yang memiliki ikatan sosial dan kohesi sosial yang masih kuat akan membangun posko darurat mandiri. Warga secara kolektif akan menyiapkan fasilitas sementara dan membangun divisi yang terdiri dari divisi konsumsi dan divisi logistik untuk membangun perlengkapan dan penanggulang bencana. Selain itu, warga ini pun melakukan upaya koordinasi dengan pihak terkait untuk penanggulang bencana agar lebih mutakhir dan optimal penanganan penanggulangan bencana. Untuk posko darurat dan pusat koordinasi, warga memiliki ruang kumpul kolektif yang umumnya berada di masjid, kantor kelurahan, sekolah, atau ruang publik yang digunakan untuk tempat mengungsi sementara. Warga dengan ikatan sosial dan kohesi sosial memiliki ciri memiliki ruang kumpul kolektif dalam kehidupan kesehariannya.Penanganan bencana tentu membutuhkan infrastruktur, teknologi dan metode teknis yang tentunya akan optimal apabila pendekatan sosial yang digunakan sesuai dengan kebutuhan warga sehingga dapat diterima warga dengan baik. Maka, kapasitas yang telah dimiliki warga menjadi gambaran praktek baik yang menunjukkan ketangguhan warga. Lebih lanjut, praktek baik tersebut perlu diakui secara formal sehingga di masa depan mungkin saja terdapat metode tanggap bencana banjir warga Kampung Melayu atau warga Manggarai. Tentu, hal ini hanyalah sebuah ilustrasi saja, bahwa praktek baik warga perlu diakui dengan penamaan tempatan sehingga menunjukkan lokalitas dan dapat membangun kepercayaan diri warga. Apabila metode ini telah diakui, maka proses pembelajaran semua pihak, baik warga, pemerintah, pembuat kebijakan, akademisi maupun masyarakat madani dapat berkolaborasi untuk membangun adaptasi yang relevan dengan kebutuhan warga. Sehingga tiga jenis adaptasi warga secara informal perlu dilanjutkan dengan skema dan metode yang lebih rinci sehingga membantu warga untuk menolong diri secara swadaya pada saat bencana terjadi. Maka, keberadaan buku saku yang dibangun yang dinamai sebagai adaptasi informal warga A atau warga B diperlukan. Pada dasarnya, tindakan adaptasi tidak dapat diseragamkan karena terkait dengan konteks geografis, nilai sosial, budaya, kepercayaan, dan hal-hal lainnya yang relevan dalam konteks sosial, kemasyarakatan dan kehidupan lokal.Pada dasarnya kapasitas adaptasi menjadi kapasitas yang perlu dimiliki oleh warga yang kerap mengalami bencana banjir. Kapasitas adaptasi warga pun ditentukan oleh berbagai faktor misalnya infrastruktur atau kegiatan pembangunan apakah memberikan tambahan kerentanan bagi warga atau tidak. Apabila memberikan tambahan kerentanan, maka upaya membangun kapasitas untuk beradaptasi akan semakin rumit untuk dilakukan. Di titik inilah, evaluasi terhadap kegiatan pembangunan menjadi diperlukan karena menyangkut kapasitas adaptasi warga. Apabila kerentanan berupa krisis lingkungan hidup yang mengakibatkan banjir seperti menurunnya permukaan tanah, subsiden atau pun banjir rob yang kemudian bertemu dengan anomali perubahan iklim yang ditandai oleh intensitas dan frekuensi hujan secara ekstrem, maka adaptasi warga pun sulit dilakukan atau bahkan warga tidak mampu beradaptasi. Maka, kapasitas adaptasi informal ini merupakan penyangga akhir bagi warga untuk mampu ‘bertahan hidup’ di tengah berbagai kerentanan yang dihadapi. Upaya ‘bertahan hidup’ warga inilah menjadi tanggung jawab semua pihak dan negara agar warga tidak mendapatkan penderitaan berlapis.