MBG: Ambisi Besar Tak Sejalan dengan Realita, Hak Anak Mendapat Makanan Aman Terabaikan

Wait 5 sec.

Sejumlah siswa berpose sambil membawa paket makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) usai dibagikan di SMP Negeri 9 Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (9/9/2025). (ANTARA/Makna Zaezar/foc)JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) andalan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tengah mendapat kritik keras dari berbagai kalangan karena menimbulkan keracunan. Anak-anak, yang banyak menerima program ini, disebut berpotensi mengalami trauma.Kasus keracunan akibat MBG menjadi berita utama dalam beberapa pekan terakhir. Data terkini per 27 September 2025 menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), korban keracunan MBG sudah mencapai 8.649 anak. Itu artinya, terjadi lonjakan jumlah korban keracunan, sebanyak 3.289 anak dalam dua pekan terakhir.Pada bulan September ini, Jumlah korban keracunan per minggunya selalu mengalami peningkatan. Penambahan jumlah korban terbanyak terjadi pada satu pekan lalu (22-27 Semptember 2025), korban mencapai 2.197 anak.“Alih-alih memberi pemenuhan gizi, makanan yang disediakan negara justru membuat ribuan anak keracunan massal. Tangis anak-anak pecah di ruang kelas, antrean panjang di rumah sakit, keresahan orang tua, dan trauma makan MBG adalah bukti nyata bahwa program ini gagap mencapai tujuan,” kata Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI dalam keterangan yang diterima VOI.Pedoman Melindungi Kepentingan AnakProgram MBG diluncurkan sejak Januari lalu dengan ambisi besar, yaitu menjangkau jutaan anak untuk memenuhi kebutuhan gizi dasar dan mencegah stunting atau tengkes serta malnutrisi.Program andalan Prabowo ini dibuat untuk memastikan anak usia sekolah mendapat asupan gizi yang cukup, aman, dan sesuai kebutuhan tumbuh kembang dengan tujuan jangka panjang akan mencetak sumber daya manusia yang unggul.Pasien korban keracunan massal berjalan dengan infus terpasang saat mendapatkan perawatan di Posko Penanganan Kantor Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (26/9/2025). Sebanyak 17 orang korban kembali mendapatkan perawatan setelah sempat dinyatakan pulih pascakeracunan massal usai mengonsumsi makan bergizi gratis (MBG) pada Senin (22/9) dan Rabu (24/9) lalu. (ANTARA/Novrian Arbi/rwa)Namun, dalam praktiknya, sepanjang 2025 muncul gelombang laporang keracuan terkait menu MBG di berbagai daerah. Ribuan kasus yang diduga terkait MBG memunculkan kecemasan publik teradap keselamatan pangan anak di sekolah.Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dan World Vision Indonesia (WVI) melakukan survei suara anak terkait program MBG di 12 provinsi dengan melibatkan 1.624 responden.Dari survei tersebut, sebanyak 583 anak mengaku pernah menerima makanan MBG yang rusak, bau, atau basi. Bahkan 11 responden tetap mengonsumsi makanan tersebut karena berbagai alasan.Selain itu, anak-anak juga mengeluhkan kualitas dan higienitas makanan. Menerima sayur dan buah yang berulat, bau makanan tidak sedap, wadah penyajian kotor termasuk beragam pengalaman yang dituliskan responden.Merujuk pada hasil survei tersebut, KPAI menyebut ada empat masalah utama program MBG. Pertama, aspek higienitas dan keamanan pangan yang belum optimal. Kedua, ketepatan waktu dan penyajian makanan yang mengecewakan anak-anak. Ketiga, edukasi gizi yang mendalam dan berkelanjutan masih kurang, dan terakhir, program MBG masih cenderung ditekankan pada aspek ekonomi, bukan gizi anak.“Prinsip perlindungan anak harus menjadi pedoman, mulai dari kepentingan terbaik anak hingga penghargaan terhadap pendapat mereka,” kata Wakil Ketua KPAI Jasra Putra.Pengalaman TraumatikKPAI mendesak pemerintah menghentikan sementara program MBG untuk evaluasi menyeluruh. Jasra menegaskan pemerintah wajib memastikan makanan bergizi gratis yang diberikan aman, berkualitas, dan tidak menimbulkan risiko keracunan massal.“Peristiwa keracunan makanan yang dialami anak Indonesia dalam program MBG sudah tidak bisa ditoleransi. Terakhir, anak-anak di usia sangat belia PAUD yang harus mengalaminya,” ucap Jasra.Kondisi tubuh anak usia dini, kata Jasra, berbeda jauh dengan orang dewasa. Anak-anak sulit mendeskripsikan kondisi kesehatan, apalagi jika berasal dari keluarga yang kurang peka atau tidak memberi perhatian cukup. Satu kasus anak yang mengalami keracunan saja sudah cukup banyak bagi KPAI.Kasus keracunan akibat MBG tak bisa dianggap sepele. Sejumlah korban diketahui harus menjalani perawatan di rumah sakit. Peristiwa ini dinilai dapat berdampak tidak hanya pada kesehatan fisik, tapi juga psikologi anak-anak.“Selain dampak fisik, korban mengalami trauma,” kata Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah.Program MBG di Kabupaten Lumajang. (ANTARA/HO-Diskominfo Lumajang)Akibat pengalaman traumatik tersebut, banyak siswa enggan menyentuh kembali hidangan MBG. Untuk itu, Margaret mendesak agara pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penyediaan, pengelohan, sampai distribusi makanan.Evaluasi ini, kata Margaret, bukan untuk menghentikan program, tetapi untuk memperkuat jaminan bahwa makanan yang diberikan benar-benar aman, higienis, sesuai standar gizi, dan disukai anak. Karena pada dasarnya, setiap peserta didik berhak mendapatkan makanan yang aman, sehat, dan bergizi, bukan sebaliknya.KPAI juga menekankan agar pemerintah dalam evaluasinya, mau mendengar suara dan pengalaman anak."Anak-anak perlu merasa tenang dan percaya bahwa makanan yang mereka terima dari program MBG akan mendukung kesehatan dan tumbuh kembangnya, bukan sebaliknya. Dengan pengawasan ketat, partisipasi masyarakat, dan perbaikan tata kelola, program MBG diharapkan tetap berjalan sebagai upaya negara memenuhi hak anak atas gizi yang layak dan kehidupan yang sehat," tutur Margaret.