Perwakilan AEI Lili Yan Ing (Foto: Aris Nurjani/VOI)JAKARTA - Aliansi Ekonom Indonesia (AEI) menyerukan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi sebagai bentuk keprihatinan atas kondisi ekonomi nasional yang dinilai mengalami krisis tata kelola dan salah arah kebijakan.Adapun, perwakilan Aliansi Ekonom Indonesia menyambangi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Airlangga Hartarto, untuk mendiskusikan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi yang telah ditandatangani oleh 456 ekonom, profesional, dan akademisi di bidang ekonomi serta 262 profesional bidang lainnya dari dalam dan luar negeri.Pertemuan ini juga dihadiri oleh Wakil Menteri Keuangan yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Anggito Abimanyu.Perwakilan Aliansi Ekonom Indonesia (AEI) Wijayanto Samirin menyampaikan apresiasi atas kesediaan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Ketua LPS, dan jajaran terkait yang telah mencermati Tujuh Desakan Darurat Ekonomi.Ia kembali menegaskan bahwa saat ini diperlukan tindak lanjut yang nyata dan bertanggung jawab dalam menghadapi kondisi darurat ekonomi yang tengah dirasakan masyarakat."Kami kembali menekankan penting dan gentingnya tindak lanjut yang serius dalam menanggulangi kondisi darurat ekonomi yang dialami masyarakat melalui implementasi kebijakan ekonomi yang amanah,” ujar Wijayanto dalam keterangannya, Senin, 29 September.Sementara itu, perwakilan Aliansi Ekonom Indonesia Vid Adrison menyampaikan terdapat beberapa data yang menunjukkan penurunan kualitas hidup masyarakat.“Dua benang merah dari permasalahan perekonomian ini adalah misalokasi sumber daya yang masif serta rapuhnya institusi penyelenggara negara karena konflik kepentingan dan tata kelola yang tidak amanah," ucap Vid.Dalam pertemuan tersebut, Aliansi Ekonom Indonesia juga kembali menekankan desakan pertama dalam Tujuh Desakan Darurat Ekonomi, yaitu perlunya mengoreksi misalokasi anggaran negara secara serius dan menyeluruh.Perwakilan AEI Lili Yan Ing, turut menyoroti perlunya menghentikan alokasi anggaran yang tidak tepat, termasuk mengurangi secara signifikan belanja negara untuk program-program populis seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG).Menurutnya, meskipun program ini bertujuan mengatasi triple burden of malnutrition yakni stunting, obesitas, dan kekurangan gizi mikro pemerintah tetap perlu menyusun kebijakan berdasarkan bukti, dengan memperhatikan target penerima dan implementasi yang sesuai dengan keragaman kondisi lokal di Indonesia."Dengan mengubah penerima MBG dari yang bersifat universal menjadi targeted, pemerintah dapat memperbaiki misalokasi anggaran serta menyesuaikan program dengan tujuan kebijakan sehingga setiap rupiah yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat digunakan secara efektif,” tutur Lili Yan Ing.Selanjutnya, Perwakilan AEI Vivi Alatas juga menegaskan bahwa pelaksanaan program MBG perlu dihentikan sementara, mengingat hingga 19 September 2025 tercatat lebih dari 5.000 kasus siswa mengalami keracunan akibat implementasi program tersebut.Ia menekankan bahwa sebagaimana tertuang dalam desakan keenam, kebijakan publik seperti MBG harus dirancang melalui proses teknokratis yang berbasis data dan bukti."Artinya untuk program MBG, perlu diawali dengan proses uji coba (piloting) dengan luaran dan indikator dampak yang terukur dan transparan, kemudian tingkatkan skala program (mainstreaming) hanya pada program yang terbukti berhasil,” tambah Vivi.Senada Perwakilan AEI Milda Irhamni turut menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan MBG, sesuai dengan desakan kedua dan ketujuh.Ia menyarankan agar program ini dikelola dalam kerangka kelembagaan yang melibatkan para pemangku kepentingan, seperti guru, orang tua, dan pemerintah daerah."Sebagai salah bentuk transparansi, evaluasi program MBG sebaiknya dilakukan oleh lembaga independen yang mempunyai rekam jejak yang baik untuk menghindari konflik kepentingan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat,” imbuhnya.Tujuh Desakan Darurat EkonomiDesakan 1: Perbaiki secara menyeluruh misalokasi anggaran yang terjadi dan tempatkan anggaran pada kebijakan dan program secara wajar dan proporsional.Desakan 2: Kembalikan independensi, transparansi, dan pastikan tidak ada intervensi berdasarkan kepentingan pihak tertentu pada berbagai institusi penyelenggara negara (Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan), serta kembalikan penyelenggara negara pada marwah dan fungsi seperti seharusnya.Desakan 3: Hentikan dominasi negara yang berisiko melemahkan aktivitas perekonomian lokal, termasuk pelibatan Danantara, BUMN, TNI, dan Polri sebagai penyelenggara yang dominan sehingga membuat pasar tidak kompetitif dan dapat menyingkirkan lapangan kerja lokal, ekosistem UMKM, sektor swasta, serta modal sosial masyarakat.Desakan 4: Deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi dan penyederhanaan birokrasi yang menghambat terciptanya iklim usaha dan investasi yang kondusif.Desakan 5: Prioritaskan kebijakan yang menangani ketimpangan dalam berbagai dimensi.Desakan 6: Kembalikan kebijakan berbasis bukti dan proses teknokratis dalam pengambilan kebijakan serta berantas program populis yang mengganggu kestabilan dan prudensi fiskal (seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, sekolah rakyat, hilirisasi, subsidi dan kompensasi energi, dan Danantara).Desakan 7: Tingkatkan kualitas institusi, bangun kepercayaan publik, dan sehatkan tata kelola penyelenggara negara serta demokrasi, termasuk memberantas konflik kepentingan maupun perburuan rente.