Tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah Gading Ramadhan Joedo di KPK, Jakarta Selatan, Senin (29/9/2025). Foto: Jonathan Devin/kumparanDirektur PT Orbit Terminal Merak (OTM), Gading Ramadhan Joedo, mendatangi Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (29/9). PT OTM merupakan perusahaan milik anak saudagar minyak Riza Chalid, Kerry Andrianto Riza.Gading tampak dibawa menggunakan mobil tahanan ke Gedung Merah Putih KPK sekitar pukul 13.21 WIB. Dia mengenakan rompi tahanan kejaksaan dengan tangan terborgol.Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan Gading mendatangi KPK dalam rangka pemeriksaan oleh penyidik Jampidsus Kejagung dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah yang menjeratnya."Yang bersangkutan diperiksa terkait perkara yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Pemeriksaan juga langsung dilakukan oleh teman-teman dari Kejagung," ujar Budi kepada wartawan.Budi menjelaskan, pemeriksaan dilakukan di KPK karena dia ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK, sehingga pemeriksaan bisa berlangsung dengan efektif."Penitipan penahanan ataupun fasilitasi tempat pemeriksaan ini sekaligus menjadi bentuk konkret saling dukung kedua lembaga dalam penanganan perkara-perkara korupsi," ucapnya.Kasus Minyak MentahTersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah Gading Ramadhan Joedo di KPK, Jakarta Selatan, Senin (29/9/2025). Foto: Jonathan Devin/kumparanDalam kasus ini, Kejagung telah menjerat 18 orang sebagai tersangka. Sebanyak 9 orang di antaranya juga telah dilakukan pelimpahan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.Mereka adalah enam orang petinggi subholding Pertamina berinisial RS, SDS, YF, AP, MK, dan EC.Selain mereka, tiga tersangka lainnya yakni; Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim, Gading Ramadhan Joedo selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.Teranyar, Kejagung kemudian menjerat 9 orang tersangka baru. Salah satu di antaranya adalah pengusaha minyak, Riza Chalid.Kasus ini bermula pada 2018-2023. Untuk pemenuhan minyak mentah dalam negeri harus wajib mengutamakan pasokan dalam negeri. Pertamina harus mencari dari kontraktor dalam negeri sebelum impor.Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.Namun, Kejagung menemukan adanya pengkondisian untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi kilang dalam negeri tidak terserap sepenuhnya, sehingga pada akhirnya harus impor.Kemudian, pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri juga oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masuk HPS.Selain itu, penolakan juga dinilai karena produksi KKKS tidak sesuai kualitas, padahal faktanya dapat diolah. Dengan penolakan itu, maka minyak mentah dari KKKS tak terserap. Kemudian malah diekspor ke luar negeri. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah, impor pun dilakukan.Dalam proses impor ini diduga terjadi pemufakatan jahat, yakni terdapat kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan dapat keuntungan dengan melawan hukum. Hal ini disamarkan seolah-olah sesuai ketentuan. Pemenang broker pun telah diatur.Ditambah lagi, dalam proses pengadaan produk kilang, PT PPN melakukan pembelian RON 92, padahal sebenarnya yang dibeli yakni RON 90. Kemudian itu di-blending untuk jadi RON 92.Pada saat dilakukan impor minyak mentah, ada proses mark up kontrak pengiriman. Sehingga pihak BUMN mengeluarkan fee 13-15 persen dan menguntungkan Muhammad Kerry Andrianto Riza.Atas perbuatan para tersangka ini, menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan dijual ke masyarakat, sehingga pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi yang lebih tinggi bersumber dari APBN.Dari hasil penghitungan, Kejagung mengungkapkan bahwa kerugian negara yang ditimbulkan akibat perkara korupsi ini mencapai Rp 285 triliun.Akibat perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.