Ilustrasi Mahasiswa kura-kura yang sedang melakukan rapat | Unsplash/Priscilla Du PreezMahasiswa kupu-kupu dan kura-kura sering menjadi stereotip yang melekat di dunia kampus. Istilah kupu-kupu menggambarkan mahasiswa yang identik dengan “kuliah–pulang–kuliah–pulang”, sedangkan kura-kura merujuk pada mahasiswa yang lebih sering “kuliah–rapat–kuliah–rapat”. Dua jalur ini seakan-akan menuntut pilihan tegas, padahal realitasnya jauh lebih kompleks daripada sekadar akronim.Banyak yang menilai kupu-kupu lebih aman karena fokus pada akademik, sementara kura-kura dianggap lebih kaya pengalaman sosial. Namun, data dan penelitian di lapangan menunjukkan dilema ini tidak sesederhana itu. Mahasiswa tidak hanya harus memilih sayap kupu-kupu atau tempurung kura-kura, tetapi juga berhadapan dengan kebutuhan akademik, sosial, bahkan tuntutan karier masa depan.Sebagai contoh, sebuah penelitian kuantitatif di STKIP PGRI Tulungagung menguji hubungan antara keaktifan organisasi dan nilai akademik. Dari 152 mahasiswa, rata-rata IPK mahasiswa aktif organisasi tercatat 3,51, sedikit berbeda dari mahasiswa yang tidak aktif. Namun, secara statistik perbedaan itu tidak signifikan. Artinya, menjadi mahasiswa kura-kura tidak otomatis berdampak buruk atau baik bagi nilai akademik.Kupu-Kupu: Fokus Akademik sebagai PilihanMahasiswa kupu-kupu kerap mendapat label pasif, seolah hanya mengejar nilai tanpa pengalaman sosial. Padahal, fokus pada akademik juga bisa menjadi strategi yang sah. Universitas Putera Batam, misalnya, mencatat bahwa mahasiswa kupu-kupu punya keunggulan dalam menjaga performa akademik. Dengan lebih banyak waktu untuk belajar, mengulang catatan, dan memperdalam materi, mereka berpeluang mempertahankan IPK stabil.Narasi ini membantah stigma bahwa kupu-kupu sekadar “kuliah pulang tanpa kontribusi.” Justru bagi sebagian mahasiswa, pilihan ini membantu mereka membangun pondasi akademik yang kuat untuk melanjutkan studi pascasarjana, mendapatkan beasiswa, atau masuk ke dunia kerja yang lebih menekankan kompetensi akademik.Ilustrasi mahasiswa kupu-kupu yang fokus pada akademik | Unsplash/javier truebaSelain itu, pengalaman tidak selalu datang dari organisasi kampus. Mahasiswa kupu-kupu bisa memperoleh soft skills melalui magang, proyek pribadi, kerja part-time, atau kegiatan komunitas di luar kampus. Dengan begitu, orientasi akademik mereka tidak menutup pintu pada pengalaman praktis, hanya saja jalurnya berbeda.Kura-Kura: Organisasi Kampus dan Bekal SosialBerbeda dengan kupu-kupu, mahasiswa kura-kura memilih tenggelam dalam dinamika organisasi, kepanitiaan, dan berbagai forum kampus. Mereka sering disebut lebih kaya pengalaman sosial karena terbiasa menghadapi konflik, mengelola tim, dan menjalin jaringan yang luas. Beberapa kampus bahkan mempertegas pentingnya jalur ini dengan menerapkan SKKM (Sistem Kredit Kegiatan Mahasiswa) sebagai syarat kelulusan.SKKM menandakan bahwa perguruan tinggi mengakui kegiatan non-akademik sebagai bagian penting dari pembentukan profil mahasiswa. Soft skills seperti kepemimpinan, manajemen waktu, komunikasi, hingga negosiasi dianggap modal besar untuk memasuki dunia kerja. Dalam konteks ini, kura-kura tidak sekadar “sibuk rapat,” melainkan sedang mengasah kompetensi yang jarang diajarkan di ruang kelas.Meski begitu, kritik terhadap kura-kura juga tidak sedikit. Ada anggapan bahwa mahasiswa kura-kura lebih rentan mengorbankan nilai akademik karena terlalu sibuk dengan aktivitas organisasi. Namun, data dari STKIP PGRI Tulungagung membuktikan bahwa klaim ini tidak selalu benar. IPK mahasiswa aktif organisasi tidak jauh berbeda dengan yang tidak aktif. Dengan manajemen waktu yang baik, menjadi "kura-kura" tetap memungkinkan mahasiswa menjaga akademik sekaligus memperkaya pengalaman sosial.Ilustrasi mahasiswa. Foto: shutterstockMenemukan Jalan TengahDilema mahasiswa kupu-kupu dan kura-kura sebetulnya bukan soal benar atau salah. Keduanya hanyalah cerminan pilihan gaya hidup akademik dan sosial di kampus. Sayangnya, tekanan sosial sering kali membuat stereotip ini saling menghakimi. Kupu-kupu dianggap minim kontribusi, sementara kura-kura dicap terlalu sibuk rapat hingga kuliah terbengkalai.Faktanya, prestasi akademik tidak semata-mata ditentukan oleh aktivitas organisasi, begitu pula pengalaman sosial tidak hanya bisa diperoleh lewat kepanitiaan. Banyak mahasiswa kupu-kupu yang sukses berkarier berkat akademik solid; banyak pula kura-kura yang berhasil karena jaringan dan pengalaman organisasi.Jawaban dari dilema ini mungkin bukan memilih salah satu, melainkan meramu keduanya sesuai kapasitas. Ada yang nyaman terbang bebas seperti kupu-kupu, ada yang kuat melangkah pelan seperti kura-kura, bahkan ada pula yang sesekali menjadi keduanya. Intinya, mahasiswa perlu jujur pada diri sendiri: mengenali tujuan, kapasitas, dan arah hidup yang ingin dibangun.Pada akhirnya, kampus adalah ruang tumbuh, bukan arena perang label. Entah jadi kupu-kupu atau kura-kura, yang terpenting adalah bagaimana setiap mahasiswa mampu memaksimalkan potensinya, menemukan jalur yang sesuai, dan menyiapkan diri menghadapi dunia setelah toga dikenakan.