Setiap tahun, pemerintah pusat mengucurkan dana besar ke daerah melalui skema Transfer ke Daerah (TKD). Tujuannya jelas: memperkuat fiskal daerah, mendukung pembangunan infrastruktur, hingga memberikan layanan dasar yang lebih baik bagi masyarakat. Namun, data terbaru justru menunjukkan fenomena sebaliknya: dana pemerintah daerah (pemda) semakin menumpuk di bank.Berdasarkan data yang dirilis Kemenkeu dalam Konferensi Pers APBN KITA Edisi September 2025, posisi dana pemda di perbankan per Agustus 2025 mencapai Rp233,11 triliun. Angka ini melonjak signifikan dibanding tahun sebelumnya yang hanya Rp192,57 triliun. Bahkan, jika ditarik ke belakang, tren lima tahun terakhir menunjukkan pola yang konsisten: dana mengendap relatif tinggi, dengan lonjakan besar di 2022 dan 2025.Ilustrasi dibuat dengan AIFenomena ini tentu menimbulkan tanda tanya besar: Mengapa dana yang seharusnya dipakai untuk membangun jalan, sekolah, rumah sakit, hingga menggerakkan UMKM, justru “parkir” di bank?Dominasi Jawa dan KalimantanJika dilihat lebih rinci, dana mengendap tersebut tidak tersebar secara merata. Jawa dan Kalimantan menjadi dua wilayah dengan simpanan terbesar.Jawa (119 pemda) menyimpan Rp84,77 triliun atau 36,37% dari total dana. Kalimantan (61 pemda) menempati posisi kedua dengan Rp51,34 triliun atau 22,03%, sementara Sumatera (164 pemda) berada di posisi ketiga dengan Rp43,63 triliun. Di sisi lain, wilayah seperti Sulawesi, Maluku-Papua, hingga Bali dan Nusa Tenggara masing-masing hanya menyumbang kurang dari 10%.Mengapa Dana Mengendap?Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan mengapa dana pemda mengendap di perbankan. Pertama, transfer pusat meningkat, belanja lambat. Dana yang ditransfer dari pusat naik, tetapi realisasi belanja daerah tidak secepat itu. Akibatnya, dana menumpuk tanpa terserap. Kedua, proses pengadaan dan administrasi rumit. Banyak pemda menghadapi hambatan birokrasi, mulai dari perencanaan yang lemah, keterlambatan lelang proyek, hingga regulasi yang berbelit.Kemudian, perilaku “menahan dana”. Beberapa pemda cenderung menahan belanja di awal tahun dan baru menggenjot realisasi di akhir tahun anggaran. Pola ini membuat dana parkir lebih lama di bank. Terakhir, kapasitas SDM terbatas. Tidak semua daerah memiliki tim pengelola anggaran yang sigap. Akibatnya, proses serapan dana berjalan lambat.Ilustrasi Transaksi atau Uang Rupiah. Foto: ShutterstockDampak Bagi EkonomiMengendapnya dana dalam jumlah besar tentu bukan kabar baik. Ada beberapa dampak nyata yang bisa dirasakan masyarakat dan perekonomian daerah. Pertama, stimulus ekonomi tertahan. Dana APBD seharusnya berfungsi sebagai mesin penggerak ekonomi. Ketika belanja lambat, multiplier effect terhadap konsumsi dan investasi ikut terhambat.Kemudian, pembangunan infrastruktur tertunda: jalan, sekolah, puskesmas, dan proyek vital lainnya terlambat untuk direalisasikan. Terakhir, instrumen fiskal yang belum optimal. APBD belum berfungsi optimal sebagai instrumen fiskal yang bisa meredam perlambatan ekonomi. Dengan kata lain, uang ada, tetapi manfaatnya tidak segera dirasakan masyarakat.Langkah Nyata Pemerintah PusatSituasi ini jelas membutuhkan respons kebijakan, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan. Pemerintah pusat dapat memberi insentif dan sanksi. Pemda—dengan realisasi belanja cepat—bisa diberi tambahan Dana Insentif Fiskal. Sebaliknya, pemda yang serapannya rendah perlu dikenakan sanksi, seperti penundaan penyaluran TKD berikutnya.Kemudian, pemerintah dapat melakukan pengawasan secara real-time. Integrasi data antara Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri penting dilakukan. Dengan begitu, saldo pemda di bank dapat dipantau secara harian, sehingga peringatan dini bisa diberikan.Selain itu, pemerintah dapat mendorong belanja produktif. Pemerintah pusat dapat menekan pemda agar mengalokasikan lebih banyak dana untuk belanja modal, infrastruktur, dan program sosial yang memiliki dampak langsung ke masyarakat.Ilustrasi Uang Rupiah Foto: ThinkstockApa yang Bisa Dilakukan Pemda?Tentunya, pemerintah pusat tidak dapat bekerja sendiri; ia memerlukan peran aktif dari pemerintah daerah. Pemda dapat mempercepat realisasi APBD. Lelang dini harus digalakkan. Dengan tender yang dimulai bahkan sebelum tahun anggaran berjalan, proyek bisa segera jalan di awal tahun. Kemudian, pemda dapat memperkuat kapasitas SDM. Aparatur daerah butuh pelatihan pengelolaan anggaran, termasuk pemanfaatan e-catalog untuk pengadaan agar lebih cepat dan transparan.Selain itu, pemda perlu fokus pada program prioritas. Pemda perlu mengarahkan belanja pada sektor yang langsung menyentuh masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan, UMKM, dan infrastruktur dasar.Menutup Celah “Dana Mengendap”Fenomena dana pemda mengendap di bank bukanlah hal baru. Tren kenaikan tajam di 2025 harus menjadi alarm keras. Jika dibiarkan, dana ratusan triliun itu hanya akan menjadi angka di laporan bank, bukan mesin penggerak ekonomi daerah.Pada akhirnya, belanja daerah bukan sekadar soal administrasi keuangan. Lebih dari itu, ia adalah instrumen vital untuk membuka lapangan kerja, memperbaiki layanan publik, dan mengurangi ketimpangan antarwilayah.Pemerintah pusat perlu lebih tegas dengan mekanisme insentif dan sanksi. Sementara itu, pemda harus berani keluar dari pola lama yang cenderung menahan belanja. Masyarakat berhak merasakan manfaat dari setiap rupiah yang ditransfer ke daerah. Jangan sampai uang rakyat hanya “parkir manis” di bank, sementara kebutuhan di lapangan terus menunggu.