Microsoft Setop Layanan Azure di Israel, Terbukti Dipakai buat Awasi Warga Gaza

Wait 5 sec.

Kantor Microsoft di Redmond. Foto: Matt Mills McKnight/REUTERSMicrosoft memutuskan untuk menonaktifkan sebagian layanan komputasi awan (cloud) Azure yang diberikan kepada unit militer Israel. Keputusan ini diambil setelah penyelidikan internal menemukan bukti yang mendukung laporan bahwa teknologi tersebut digunakan untuk melakukan pengawasan massal terhadap warga sipil di Gaza.Vice Chair dan President Microsoft, Brad Smith, menegaskan bahwa perusahaan tidak menyediakan teknologi untuk memfasilitasi pengawasan massal terhadap warga sipil."Kami telah menerapkan prinsip ini di setiap negara di seluruh dunia, dan kami telah menegaskannya berulang kali selama lebih dari dua dekade," ujar Smith, mengutip The Seattle Times pada Jumat (26/9).Keputusan Microsoft ini merupakan tindak lanjut dari laporan investigasi gabungan oleh The Guardian, majalah Israel-Palestina +972, dan media berbahasa Ibrani, Local Call, pada awal Agustus lalu. Laporan tersebut mengungkap unit intelijen militer elite Israel, Unit 8200, menggunakan layanan cloud Microsoft Azure untuk membangun gudang data raksasa. Gudang data ini diduga menyimpan jutaan panggilan telepon warga sipil Palestina yang telah disadap di Gaza dan Tepi Barat.Menanggapi laporan tersebut, Microsoft meluncurkan penyelidikan internal kedua pada 15 Agustus.Penyelidikan ini berbeda dengan tinjauan pertama pada Mei yang tidak menemukan bukti pelanggaran.Warga Palestina yang mengungsi dari Gaza utara akibat operasi militer Israel, bergerak ke selatan setelah pasukan Israel memerintahkan penduduk Kota Gaza untuk mengungsi ke selatan, di Jalur Gaza tengah, Sabtu (20/9/2025). Foto: Dawoud Abu Alkas/REUTERSPenyelidikan terbaru menemukan bukti yang mendukung elemen-elemen dari laporan media, termasuk penggunaan kapasitas penyimpanan Azure dan layanan AI oleh Israel untuk pengawasan.Meskipun layanan untuk unit spesifik ini dihentikan, Smith menyatakan langkah tersebut tidak memengaruhi pekerjaan keamanan siber yang disediakan Microsoft untuk Israel dan negara-negara lain di Timur Tengah."Seperti yang sudah saya sampaikan. Microsoft bukanlah pemerintah atau negara. Kami adalah sebuah perusahaan. Seperti setiap perusahaan, kami yang memutuskan produk dan layanan apa yang akan kami tawarkan kepada pelanggan kami," jelas Smith.Selain laporan media, Microsoft juga menghadapi tekanan internal yang signifikan dari para karyawannya. Sebuah gerakan bernama "No Azure for Apartheid," yang melibatkan karyawan Microsoft, menyambut baik keputusan tersebut meskipun menganggapnya belum cukup. Kelompok ini menuntut agar Microsoft memutuskan semua kontrak dengan militer dan pemerintah Israel."Respons Microsoft tidak cukup, namun ini juga merupakan contoh pertama yang diketahui dari perusahaan teknologi AS yang menarik layanan yang diberikan kepada militer Israel sejak awal genosida," kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.Gerakan ini telah melakukan serangkaian protes, termasuk mengganggu acara perusahaan dan menduduki area di kampus Microsoft di Redmond, yang berujung pada penangkapan dan pemecatan beberapa karyawan yang terlibat.Francesca Albanese. Foto: Fabrice Coffrini/AFPTekanan internal terkait kerja sama dengan Israel sendiri tidak hanya dialami oleh Microsoft. Perusahaan teknologi besar lainnya seperti Amazon dan Google juga menghadapi protes dari karyawan mereka terkait Proyek Nimbus, sebuah kontrak senilai 1,2 miliar dolar AS untuk menyediakan layanan cloud kepada pemerintah Israel.Tahun lalu, Google memecat puluhan karyawan yang melakukan aksi duduk di kantor perusahaan di New York dan Sunnyvale, California, sebagai bentuk protes terhadap kontrak tersebut.Adapun ketiga perusahaan teknologi ini --Microsoft, Amazon, dan Google-- juga disebut dalam laporan yang dikeluarkan oleh Pelapor Khusus PBB, Francesca Albanese. Laporan tersebut memperingatkan bahwa perusahaan-perusahaan yang berbisnis dengan Israel berisiko terlibat dalam kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki.