Ilustrasi informasi digital. Foto: Shutter StockPak Sastro, guru senior di sebuah SMP negeri di Kebumen, baru saja ditegur oleh kepala sekolah. Ia tidak sengaja mengunggah data nilai seluruh siswa—lengkap dengan nomor induk dan alamat—ke grup WhatsApp yang bisa diakses publik. “Saya kira seperti grup resmi, Bu,” ujarnya lirih. “Di situ tertulis ‘SMP Negeri 1 Kebumen,’ jadi saya kira aman.” Kasus ini bukan insiden terisolasi. Di banyak desa, kecamatan, bahkan instansi pemerintah, cerita serupa berulang: orang-orang baik niatnya, tetapi jatuh dalam jebakan digital karena satu hal: mereka tidak diajarkan cara bertahan di dunia yang sudah lama berubah.Literasi digital sering dianggap sebagai wilayah anak muda. Generasi Z (Gen Z) dan Generasi Milenial diasumsikan otomatis melek teknologi hanya karena lahir setelah internet ada. Namun, persepsi itu menyesatkan dan berbahaya. Literasi digital bukan soal bisa atau tidak bisa scroll layar; ia adalah kemampuan memahami, menilai, dan menggunakan teknologi secara kritis, aman, dan etis. Kemampuan ini bukan hak eksklusif generasi muda, melainkan kebutuhan semua usia di abad ke-21.Fakta dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 77% pada 2024. Namun, angka ini tidak sebanding dengan tingkat pemahaman pengguna. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap bahwa lebih dari 60% pengguna internet kelompok usia 45–64 tahun tidak dapat membedakan situs resmi dengan situs palsu. Mereka juga rentan terhadap penipuan daring, hoaks politik, dan pelanggaran privasi.Data Kominfo mencatat, sepanjang 2023, lebih dari 40% korban investasi bodong adalah warga usia 40 ke atas—banyak di antaranya ibu-ibu di grup Facebook atau pedagang pasar yang tergiur iming-iming untung besar lewat aplikasi ilegal.Ilustrasi aplikasi Threads dan Twitter. Foto: Robert Way/ShutterstockMasalahnya, literasi digital masih dipersepsikan sebagai urusan anak-anak muda. Program edukasi pun dominan menyasar pelajar dan mahasiswa. Padahal, ASN, guru, petani, pedagang, hingga tokoh agama—yang sering menjadi rujukan masyarakat—masih banyak yang buta teknologi. Akibatnya, ketika mereka diminta mengisi formulir online, mengunggah dokumen ke portal resmi, atau mengelola data warga, kesalahan teknis menjadi bom waktu: mulai dari kebocoran data pribadi hingga penyalahgunaan informasi.Ironisnya, stigma terhadap kelompok usia tua masih kuat. “Nanti juga belajar sendiri,” kata sebagian orang. Atau stigma lain seperti, “Memang susah kalau sudah tua.” Padahal, literasi digital bukan soal usia, tapi soal akses terhadap pembelajaran yang relevan dan ramah pengguna. Seorang pensiunan TNI di Makassar mungkin tidak tahu cara verifikasi akun; bukan karena tidak mau belajar, melainkan karena tidak ada tempat yang mengajarkannya dengan sabar dan tanpa ejekan.Negara-negara lain telah membuktikan bahwa perubahan dimungkinkan. Di Jepang, program Digital Grandparents melatih lansia menggunakan smartphone, e-government, dan deteksi penipuan daring—dengan metode pelatihan teman-sebaya. Hasilnya, angka kejahatan siber terhadap lansia turun drastis. Di India, kampanye Digital Saksharta Abhiyan berhasil melatih jutaan pedagang pasar tradisional menggunakan QRIS, dompet digital, dan platform edukasi daring. Di Finlandia, literasi media termasuk dalam kurikulum nasional untuk semua jenjang, termasuk pelatihan bagi orang tua dan guru.Di Indonesia, kita masih terjebak dalam pendekatan parsial. Pelatihan IT untuk aparatur desa sering kali hanya formalitas—dilakukan satu hari, tanpa evaluasi lanjutan. Program UMKM digital fokus pada “jualan online”, tetapi mengabaikan aspek keamanan data dan literasi finansial digital. Kita membangun infrastruktur, tetapi lupa membangun kapasitas manusianya.Ilustrasi keamanan privasi. Foto: Shutter StockMaka, saatnya kita merancang ulang strategi nasional literasi digital. Pertama, wajibkan pelatihan literasi digital dalam skema diklat ASN dan aparatur desa, dengan modul yang praktis, kontekstual, dan berkelanjutan. Kedua, luncurkan gerakan “Satu Keluarga Satu Melek Digital” di mana anak-anak dilibatkan sebagai mentor bagi orang tua dan kakek-nenek, didukung modul resmi dari Kemendikbudristek dan Kominfo. Ketiga, desain ulang antarmuka layanan publik digital agar benar-benar ramah pengguna awam: gunakan ikon jelas, suara panduan, dan opsi “mode pemula” yang sederhana.Keempat, manfaatkan komunitas lokal dan tokoh agama sebagai agen perubahan. Masjid, gereja, pura, dan balai desa bisa menjadi pusat belajar digital karena lebih dipercaya dan mudah diakses. Terakhir, bangun ruang melek digital di tiap desa dan kelurahan, didampingi relawan terlatih yang siap membantu warga menavigasi dunia digital dengan aman.Ketika listrik padam, kita langsung bicara soal ketahanan infrastruktur. Namun, ketika warga salah klik, jadi korban hoaks, atau data pribadinya bocor, kita malah menyalahkan individunya. Padahal, listrik dan teknologi adalah infrastruktur sosial. Tanpa literasi yang merata, masyarakat kita akan semakin terbelah: satu kelompok bisa memanfaatkan teknologi untuk memberdayakan diri, sementara lainnya hanya jadi objek eksploitasi.Generasi muda boleh saja menjadi juru bicara era digital. Namun, tanggung jawab memastikan seluruh bangsa bisa bernapas di dunia ini, bukan hanya milik mereka. Karena, di tengah revolusi digital, tidak ada yang boleh tertinggal—usia bukan alasan, tetapi panggilan untuk gotong royong.