Gen Z dan Paradoks Media Sosial: Tren Marketing dari Influencer ke AI

Wait 5 sec.

Ilustrasi artificial intelligence. Foto: ShutterstockMedia sosial kini dipakai miliaran orang di seluruh dunia. Menurut laporan Digital 2024, Global Overview dari DataReportal-Global Digital Insights, jumlah pengguna media sosial di dunia telah melampaui 5,04 miliar identitas pada awal tahun 2024. Angka ini mencerminkan peningkatan sekitar 5,6% dibandingkan tahun sebelumnya, yang berarti lebih dari separuh populasi dunia kini aktif menggunakan berbagai platform media sosial. Namun, di balik pertumbuhan masif ini, muncul sebuah paradoks media sosial: semakin terkoneksi secara digital, banyak generasi muda justru merasa semakin kesepian, terisolasi, dan kehilangan interaksi yang bermakna.Gen Z: Generasi Paling Terkoneksi, Paling Sepi?Generasi Z (Gen Z) dikenal sebagai generasi paling “melek digital”. Hampir semua aktivitas mereka—mulai dari belajar, bekerja, sampai mencari hiburan—tidak lepas dari media sosial. Menariknya, penelitian Appel dkk. (2019) menunjukkan adanya paradoks media sosial: semakin terkoneksi, banyak Gen Z justru merasa semakin kesepian atau kini banyak disebut sebagai loneliness epidemic. Fenomena ini termasuk dalam kategori near future di mana media sosial diprediksi bukan hanya memperluas interaksi, tetapi juga menimbulkan isolasi dan kesepian bagi penggunanya.Temuan ini juga diperkuat oleh survei Cigna (2018) yang menyebut Gen Z sebagai generasi paling kesepian meski mereka pengguna media sosial paling aktif. Fenomena ini bisa kita lihat secara nyata di Indonesia, misalnya tren curhat anonim di Twitter (X) atau TikTok, yang menunjukkan betapa besar kebutuhan Gen Z akan validasi sosial dan interaksi yang benar-benar bermakna.Shakya dan Christakis (2017) menemukan bahwa penggunaan Facebook berkorelasi negatif dengan kesejahteraan konsumen, sementara studi Hunt et al. (2018) menunjukkan bahwa membatasi penggunaan media sosial hingga hanya 10 menit per hari bisa mengurangi rasa kesepian dan depresi karena berkurangnya efek fear of missing out (FOMO).Di sinilah Gen Z digital marketing menjadi tantangan tersendiri: sebuah brand harus bisa hadir bukan hanya untuk menjual, tapi juga untuk menemani dan memberi nilai emosional.Ilustrasi gen z. Foto: Odua Images/ShutterstockInfluencer Marketing: Dari Selebgram ke Virtual IdolaDalam kategori immediate future, Appel dkk. (2019) menekankan bahwa influencer akan tetap menjadi kekuatan utama di media sosial. Perjalanan marketing influencer sendiri mengalami evolusi menarik. Jika beberapa tahun lalu brand hanya mengandalkan selebriti besar, kini dunia telah bergeser ke arah marketing influencer dengan wajah yang jauh lebih beragam.Di Indonesia, misalnya, brand skincare dan F&B lokal justru lebih sering menggandeng micro-influencer karena engagement mereka lebih tinggi dibanding selebriti papan atas. Micro-influencer dengan followers puluhan ribu justru lebih dipercaya karena dianggap lebih “real” dan dekat dengan audiens. Fenomena ini nyata terlihat di Indonesia, misalnya brand skincare lokal yang sukses melejit berkat review jujur para kreator TikTok. Namun, paradoks kembali muncul: semakin banyak influencer bermunculan, tingkat kepercayaan publik pun menurun karena audiens sudah sadar banyak konten yang sebenarnya sponsor.Lebih menarik lagi, kini lahir tren virtual influencer seperti Lil Miquela atau avatar digital yang mulai populer di TikTok. Pertanyaannya: Jika yang memengaruhi kita bukan lagi manusia asli, bagaimana masa depan kepercayaan konsumen bisa dibangun? Bayangkan, kita membeli produk karena rekomendasi sosok yang bahkan tidak pernah benar-benar mencoba barang tersebut. Inilah paradoks baru di marketing influencer: semakin luas jangkauan yang ditawarkan, semakin kabur pula batas antara keaslian dan ilusi.AI dan Masa Depan Media Sosial: Canggih Tapi DinginDalam Horizon, Far Future, Appel dkk. (2019) melangkah lebih jauh dengan memprediksi bahwa masa depan media sosial akan dipenuhi dengan entitas non-manusia. Kita sudah mulai melihatnya hari ini: melalui chatbot layanan pelanggan, sistem rekomendasi berbasis AI, hingga konten yang dibuat algoritma. Sephora, misalnya, menggunakan chatbot untuk membantu pelanggan menemukan produk kosmetik yang tepat, sementara e-commerce di Indonesia mengandalkan bot untuk menjawab pertanyaan dasar konsumen.Ke depan, AI mampu memproduksi iklan secara mandiri, menghadirkan virtual influencer yang ‘hidup’ 24 jam di dunia maya, atau interaksi berbasis AR/VR yang terasa nyata.Ilustrasi media sosial palsu. Foto: Dinda Faradiba/kumparanDari sisi efisiensi, AI social media jelas membantu brand dalam menghemat waktu dan biaya. Namun di sisi lain, paradoks pun muncul kembali: interaksi jadi cepat, tetapi dingin: tanpa sentuhan manusia yang hangat. Di sinilah relevansi konsep Marketing 5.0: “Machine is Cool, Human is Warm” (Kotler et al., 2021) terasa. Mesin (AI) dapat menangani tugas rutin dengan presisi dan kecepatan, sementara manusia harus menghadirkan empati, kreativitas, dan kedekatan emosional. Bagi Gen Z yang menuntut personalisasi, tantangan bagi brand adalah bagaimana menghadirkan sisi human-touch di tengah teknologi yang semakin otomatis.Paradoks yang Tak Bisa DiabaikanDari tiga gambaran di atas, terlihat jelas bahwa masa depan media sosial bukan cuma soal teknologi atau tren baru, tapi juga tentang paradoks yang mengiringinya. Gen Z semakin aktif, tetapi mereka semakin kesepian. Marketing influencer semakin ramai, tetapi kepercayaan semakin menipis. AI semakin canggih, tetapi interaksi terasa semakin dingin. Bagi marketer—terutama yang membidik Gen Z—kuncinya ada pada keseimbangan: menggunakan teknologi untuk memperkuat kedekatan, bukan sekadar efisiensi. Karena pada akhirnya, pemasaran yang berhasil bukan hanya soal menjangkau audiens, tetapi juga soal membangun hubungan yang autentik.Untuk menghadapi paradoks media sosial, brand dituntut untuk melampaui pendekatan yang lebih dari sekedar mengejar angka likes dan followers, melainkan diarahkan pada pembangunan komunitas digital dengan interaksi yang otentik dan bermakna agar bisa menjawab masalah "connected but lonely" yang banyak dialami Gen Z.Di sisi lain, strategi influencer juga memerlukan reposisi: tidak lagi sekadar mengandalkan selebriti besar, melainkan memanfaatkan micro-influencer dan bahkan virtual influencer yang memiliki keterhubungan emosional lebih kuat dengan audiens, dengan tetap menjaga transparansi sponsorship untuk mempertahankan trust. Terakhir, kehadiran AI dalam media sosial memang menawarkan efisiensi luar biasa, mulai dari chatbot hingga sistem rekomendasi, tetapi jika tidak diimbangi dengan sentuhan manusia, interaksi akan kehilangan kedalaman emosional. Prinsip Marketing 5.0: “Machine is Cool, Human is Warm” menjadi kunci keseimbangan AI yang berfungsi sebagai penggerak kecepatan dan skala, sementara manusia menghadirkan empati, narasi, dan makna yang menjaga relevansi brand di mata konsumen.