Mengapa target 70% pengurangan sampah plastik laut pada 2025 sulit tercapai?

Wait 5 sec.

● Pengelolaan sampah darat masih buruk dan jadi sumber utama pencemaran laut.● Produksi plastik terus meningkat sementara daur ulang stagnan.● Perlu insentif dan sistem ekonomi guna ulang untuk mengurangi sampah plastik. Sampah plastik Indonesia di lautan membludak. Pada 2010, sebuah studi mengungkap, Indonesia diperkirakan menyumbang lebih dari 3,2 juta metrik ton sampah plastik ke laut per tahun, menempatkannya sebagai negara kedua terbesar setelah Cina dalam hal polusi plastik.Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia mengambil berbagai langkah, yang terbilang sedikit konkret adalah Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut (RAN-PSL) pada 2018.Lewat Peraturan Presiden Nomor 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut, pemerintah menetapkan target ambisius untuk mengurangi sampah plastik laut sebesar 70% hingga 2025. Namun hingga pengujung tahun ini, target tersebut sepertinya sulit tercapai. Hasil kajian Tim Koordinasi Nasional (TKN) PSL sejauh ini menunjukkan, penurunan kebocoran sampah laut baru mencapai 41,68%.Berdasarkan riset kami, ada beberapa hal yang membuat target ini sulit tercapai, mulai dari masalah pengelolaan sampah di darat hingga minimnya insentif.Pengelolaan sampah di darat burukMayoritas sampah plastik yang mencemari lautan berasal dari daratan, akibat pengelolaan sampah yang buruk.Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018-2021), limbah padat dari daratan berkisar antara 28,7-32,5 juta ton. Sumber utama sampah-sampah itu berasal dari rumah tangga, pasar tradisional, bisnis, dan kawasan industri. Plastik menyumbang sekitar 11–17% dari total sampah yang dihasilkan setiap tahun.Dalam periode tersebut, sekitar 10 juta ton sampah terbuang tanpa pengelolaan yang tepat, dan diperkirakan antara 0,2 hingga 1,7 juta ton plastik bocor ke laut.Hal ini menegaskan bahwa pengelolaan sampah yang tidak memadai di daratan menjadi faktor utama yang memperburuk masalah sampah plastik di lautan.Produksi plastik terus meningkat, daur ulang jalan di tempatSementara pengelolaan sampah buruk, produksi plastik nasional terus meningkat. Kebijakan pengurangan sampah laut di antaranya sudah membuahkan regulasi larangan kantong plastik sekali pakai, program bank sampah dan EPR (Extended Producer Responsibility). Bank sampah adalah sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat di mana warga menabung sampah yang sudah dipilah untuk ditukar dengan uang. Sementara EPR adalah kebijakan yang mewajibkan produsen bertanggung jawab atas seluruh siklus hidup produknya, termasuk pengumpulan dan pengelolaan limbah pascakonsumsi.Sayangnya, program-program ini belum berjalan optimal, salah satunya karena belum bersifat wajib dan minim penegakan hukum. Di samping itu, kita juga belum punya target ambisius untuk sistem guna ulang.Program EPR yang mendorong industri untuk mengelola limbah produknya baru dijalankan oleh sebagian kecil perusahaan. Sampai saat ini baru sekitar 30 yang menyerahkan peta jalan EPR mereka ke pemerintah.Komitmen produsen untuk mengurangi kemasan sekali pakai seperti saset multilapisan belum menjadi prioritas, sementara berbagai program daur ulang belum terbukti berjalan.Infrastruktur daur ulang seperti bank sampah dan pusat 3R (reduce, reuse, recycle) memang sudah tersebar, tapi masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Provinsi lain belum banyak menikmati fasilitas serupa. Larangan penggunaan plastik sekali pakai juga masih sebatas berlaku di Jakarta dan Bali. Padahal, selain Jawa dan Bali, sumber sampah plastik terbesar juga datang dari Sulawesi dan Sumatra. Baca juga: 3 alasan perundingan perjanjian plastik global berakhir tanpa kesepakatan Minim insentif, perlu sistem ekonomi guna ulangDi samping itu, insentif bagi masyarakat dan sektor industri untuk beralih ke solusi ramah lingkungan juga masih sangat terbatas.Di tengah tantangan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, solusi guna ulang sebetulnya bisa menjadi alternatif penting.Jika didukung standar, infrastruktur, dan kebijakan yang tepat, sistem guna ulang berpotensi menyumbang nilai ekonomi bersih hingga Rp1,5 triliun pada 2030.Di sisi lain, sistem ekonomi guna ulang dapat menciptakan sebanyak 4,4 juta lapangan kerja bersih secara kumulatif di seluruh sektor ekonomi selama periode 2021–2030. Sekitar 75% di antaranya bahkan berpotensi diisi oleh perempuan.Butuh pendekatan inklusif dan kerjasama multipihakUntuk dapat mengurangi sampah plastik laut secara signifikan, perlu ada langkah konkret yang melibatkan semua pihak. Salah satu langkah utama adalah memperkuat peran pemerintah daerah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pengurangan sampah plastik. Pemerintah daerah harus didorong untuk mengadopsi kebijakan yang berhasil diterapkan di Jakarta dan Bali, seperti larangan penggunaan plastik sekali pakai, dan menyesuaikannya dengan kondisi setempat. Di samping itu, peningkatan infrastruktur pengelolaan sampah sangat penting, terutama di daerah-daerah yang belum memiliki fasilitas pengelolaan sampah yang memadai.Perlu juga untuk mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif, melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas, termasuk masyarakat, industri, pemerintah, dan akademisi. Kolaborasi ini akan menghasilkan solusi yang lebih efektif, seperti pengembangan teknologi pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dan riset tentang alternatif pengganti plastik. Perubahan perilaku masyarakat juga tidak kalah pentingnya dalam upaya ini. Kampanye edukasi yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, mulai dari sekolah hingga komunitas, perlu diperkuat untuk meningkatkan kesadaran tentang pengelolaan sampah yang lebih baik.Selanjutnya, evaluasi dan pemantauan terhadap kebijakan yang diterapkan harus dilakukan secara teratur untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut berjalan dengan efektif. Melihat situasi saat ini, mungkin membutuhkan waktu lebih lama dan kerja sama yang lebih kuat antara pemerintah daerah, industri, dan masyarakat untuk mengurangi limbah plastik.Namun dengan evaluasi yang tepat, kebijakan dapat disesuaikan dan diperbaiki agar lebih efisien dalam mencapai target pengurangan sampah plastik laut sebesar 70%.Yulianto Suteja tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.