Industri Otomotif Jadi Primadona untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen

Wait 5 sec.

Produksi mobil listrik atau Battery Electric Vehicle (BEV) new Wuling BinguoEV 2025 di pabrik PT SGMW Motor Indonesia, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Foto: dok. Wuling MotorsAsisten Deputi Pengembangan Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, Elektronika, dan Aneka (Ilmate) Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman mengatakan industri otomotif dipandang masih menjadi salah satu sektor andalan dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Ia menyatakan bahwa kontribusi otomotif akan tetap vital di tengah pergeseran tren kendaraan listrik (EV) dan tekanan daya beli masyarakat. Apalagi sektor ini menyerap tenaga kerja, membuka ruang investasi, dan menopang rantai pasok industri nasional.“Industri otomotif ini masih primadona untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5 persen,” ujarnya.Atong menjelaskan, pemerintah tengah mempertimbangkan langkah-langkah strategis untuk mendorong daya beli, termasuk melalui insentif non-pajak.Menurutnya, skema pajak seperti PPN dan PPnBM sulit diubah karena memerlukan revisi undang-undang. Namun, insentif balik nama kendaraan (BBN) masih bisa dijadikan opsi.“Kita minta potongan 50 persen untuk balik nama. Kalau bisa bebas 100 persen atau 5 persen pun mungkin, yang penting bisa menurunkan harga jual kendaraan,” ujar Atong dalam Bisnis Indonesia Forum bertajuk “Lima Dekade Industri Otomotif, Produk Lokal Pasar Global”, Kamis (25/9/2025).Deretan unit mobil terparkir di pabrik Hyundai Motor Manufacturing Indonesia (HMMI), Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (18/6/2025). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTOMeski kendaraan listrik terus bertumbuh, pasar kendaraan bermesin bakar (ICE) masih dominan. Data Agustus 2025 mencatat, EV meraih porsi penjualan 18 persen, sementara ICE masih 61 persen. Dari sisi produksi, EV baru mencapai 10,4 persen dan ICE 89,6 persen.Atong menilai, kondisi ini membuat strategi otomotif nasional harus berjalan di dua jalur: mendorong adopsi EV sekaligus menjaga pasar ICE agar tetap sehat. “Shifting produksi lebih banyak diarahkan ke LCGC (low cost green car), agar tetap terjangkau masyarakat,” jelasnya.Ekspor jadi jalan keluarDi samping pasar domestik, pemerintah juga berupaya mendorong kinerja ekspor dari industri otomotif dalam negeri. Dalam konteks EV misalnya, ia menilai bahwa bahan baku nikel cocok untuk pasar Eropa. “Untuk pasar domestik, EV berbasis LFP lebih relevan, walau cadangan LFP di Indonesia terbatas. Karena itu kita harus atur strategi ekspor sekaligus kebutuhan dalam negeri,” imbuh Atong.Sementara itu industri otomotif selama ini memiliki kontribusi terhadap PDB nasional dan menjadi sektor dengan multiplier effect tinggi. Pemerintah, katanya, optimistis otomotif akan menopang target pertumbuhan ekonomi 5 persen dengan kombinasi insentif, shifting segmen, dan dorongan ekspor.