Presiden Vladimir Putin berada di Armenia pada 1 Oktober 2019. Sumber: Asatur Yesayants/shutterstock.comDalam panggung sejarah Rusia modern tahun 1990-an, kasus perusahaan minyak Yukos dan pemimpinnya, Mikhail Khodorkovsky, bukan sekadar drama penegakan hukum biasa. Ia adalah sebuah narasi monumental yang mengkristalkan pergulatan epik antara kekuatan kapital swasta yang lahir dari reruntuhan Uni Soviet dengan kebangkitan kembali negara otoriter di bawah Vladimir Putin. Pada permukaannya, kasus ini bercerita tentang penangkapan dan pemidanaan orang terkaya Rusia atas tuduhan penggelapan pajak. Namun, pada esensinya, ia adalah sebuah manifesto politik: sebuah pernyataan tegas bahwa dalam hierarki kekuasaan Rusia, politiklah sang “tuan” yang mutlak menentukan peta distribusi kekayaan ekonomi.Kronologi UmumKonflik ini berakar pada sebuah kesepakatan informal khas era pasca-Soviet. Saat naik takhta, Putin menawarkan modus vivendi kepada para oligarki: mereka boleh menikmati kekayaan yang diraih dari privatisasi yang sering kali picik, selama tidak mencampuri ranah politik Kremlin. Namun, Khodorkovsky adalah entitas yang berbeda. Ia memiliki ambisi yang melampaui sekadar akumulasi kapital. Rentang tahun 2001 hingga 2003, terjadi eskalasi konflik Khodorvosky menentang Kremlin (termasuk Presiden Putin). Dengan ambisi politiknya, ia membiayai partai-partai oposisi, menyogok anggota Duma (termasuk anggota partai Komunis) untuk melancarkan pemblokiran kenaikan pajak sektor minyak, dan bahkan berencana mencalonkan diri sebagai presiden 2008 (Goldman, 2004). Lebih berani lagi, ia menuduh korupsi di tubuh BUMN minyak Rosneft dan mengusulkan pembangunan pipa minyak independen—sebuah tantangan langsung terhadap monopoli negara atas sumber daya alam.Titik balik Putin atas manuver Khodorkovsky adalah peristiwa penangkapannya bulan Oktober 2003 dengan tuduhan penggelapan pajak dan penipuan. Goldman (2004) menegaskan bahwa penangkapan ini bukan karena korupsi politik semata, tetapi menimbulkan ancaman politik terhadap kekuasaan Putin. Tindakan Putin populer di masyarakat Rusia yang marah atas ketidakadilan privatisasi sektor minyak.Mikhail Khodorkovsky dalam masa tahanan. Sumber: kojoku/shutterstock.comGrand Corruption Era Transisi Rusia ModernTindakan Putin ini adalah sebuah respons strategis negara terhadap sebuah fenomena yang dalam teori politik dikenal sebagai Bribery for Profit” atau grand corruption, seperti yang dijelaskan oleh Shaomin Li (2019). Teori ini mengungkap korupsi tingkat tinggi di mana pelaku tidak hanya menyuap individu, tetapi membajak seluruh sistem untuk mendapatkan keuntungan proyek fantastis. Khodorkovsky bukan lagi dilihat sebagai koruptor konvensional, melainkan sebagai arsitek sebuah “negara dalam negara”—sebuah kekuatan otonom yang menggunakan kekayaannya untuk menciptakan aliansi politik paralel dan kebijakan alternatif yang mengancam kedaulatan Kremlin. Dengan kacamata teori ini, tindakan Putin dapat dimaknai sebagai upaya reclaiming kedaulatan negara. Apa yang tampak sebagai penegakan hukum yang politis, pada hakikatnya adalah peralihan wajah kapitalisme Rusia: dari fase “kapitalisme liar” (robber baron capitalism) yang dikuasai oligarki, menuju fase “kapitalisme negara” (state capitalism) yang otoriter di mana negara mengambil alih kembali kendali atas sumber daya strategisnya. Dalam narasi ini, Putin berhasil memanfaatkan kemarahan publik terhadap ketidakadilan era privatisasi untuk melegitimasi nasionalisasi de facto aset-aset Yukos.Kremlin dan katedral di Moskow. Sumber: Oleg Doroshin/shutterstock.comKorupsi Yang Tak Kasat MataBagi pembaca global, kasus Khodorkovsky adalah sebuah studi kasus paradigmatik yang mengajarkan bahwa korupsi memiliki wajah yang sangat cair dan kompleks. Kita sering terpaku pada korupsi yang kasat mata—suap sekantung uang. Padahal, korupsi politik justru "bersemi" dalam bentuk yang lebih halus dan sistemik: dalam jaringan kekerabatan, pendanaan partai politik, proyek filantropi korporasi, hingga pertemuan-pertemuan elite di klub eksklusif.Dukungan finansial Khodorkovsky kepada partai oposisi adalah contoh sempurna dari grand corruption. Ia bukan transaksi instan, melainkan investasi politik jangka panjang untuk memengaruhi kebijakan. Dalam konteks global, praktik serupa bisa kita lacak ketika korporasi multinasional mendanai program tertentu di suatu negara. Apa yang tampak sebagai kedermawanan, bisa jadi adalah mata rantai dari sebuah skema besar untuk membentuk opini publik dan mengamankan kepentingan bisnisnya.Di Atas Langit, Masih Ada LangitTiga eksplanandum dapat kita ajukan di sini sebagai refleksi kritis kasus Putin versus Khodorkovsky (oligarki). Pertama, dalam sistem otoriter, negara menjadi pusat segala keuntungan sekaligus medan tempur utama bagi para oligarki untuk mempraktikkan grand corruption. Kedua, rezim semacam itu biasanya toleran terhadap korupsi skala kecil-menengah (medium-small corruption), selama tidak mengganggu stabilitas kekuasaan elite puncak. Ketiga, kolusi antara kekuatan uang dan kuasa inilah yang melahirkan fenomena “The State within a State”.Dengan meruntuhkan Khodorkovsky, Putin tidak hanya membasmi seorang rival, tetapi juga mengirim pesan abadi tentang siapa yang berdaulat di Rusia. Kasus ini adalah pengingat suram bahwa dalam pertarungan antara raja dan para bankir, sang raja—yang memegang mandat politik dan alat paksa—pada akhirnya memiliki kartu AS. Ini adalah pelajaran abadi bahwa di atas langit kekuatan ekonomi, selalu ada langit kekuasaan politik yang lebih tinggi.