Suasana pembangunan tanggul laut (Giant Sea Wall) di daerah Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (13/6/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparanWacana pembangunan tanggul raksasa (giant sea wall) yang membentang di sepanjang pantai utara Jawa kembali mencuat di ruang publik setelah Presiden Prabowo membentuk Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa. Megaproyek tersebut diproyeksikan akan menghabiskan dana sekitar Rp1.620 triliun dan memakan waktu pembangunan sekitar 20 tahun. Wacana kebijakan tersebut turut memantik perdebatan dalam ruang publik—baik dari sisi efektivitas pembangunan giant sea wall guna mengatasi masalah penurunan permukaan tanah dan rob di Pantai Utara Jawa—maupun pembentukan badan yang akan mengelola megaproyek tersebut. Publik Perlu RasionalisasiKebijakan publik yang berkualitas salah satunya harus didasarkan pada kerja ilmu pengetahuan (science based policy). Maka, dalam konteks wacana pembangunan giant sea wall ini, publik perlu mendapat pengetahuan dan rasionalisasi yang lebih jauh mengenai sejauh mana wacana kebijakan tersebut berdasarkan pada ilmu pengetahuan.Dengan kata lain, rasionalisasi diperlukan untuk menjawab pertanyaan, "Apakah pembangunan giant sea wall itu solusi yang paling efektif di antara berbagai alternatif pilihan kebijakan lainnya untuk mengatasi masalah menurunnya permukaan tanah ataupun rob? Terlebih lagi, terdapat banyak kritik dan keraguan dari para pakar keilmuan ataupun pemerhati isu terkait sanksi dari efektivitas megaproyek tersebut. Suasana pembangunan tanggul laut (Giant Sea Wall) di daerah Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (13/6/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparanPemerintah perlu melakukan komunikasi publik yang baik untuk menjawab berbagai kritikan yang datang, seperti diskursus yang menyebut bahwa megaproyek tersebut tidak akan berdampak signifikan, selagi tidak ada perbaikan yang signifikan pula terhadap tata ruang di wilayah Jawa. Terlebih lagi, permasalahan tata ruang di Jawa dianggap sebagai salah satu sumber utama masalah penurunan permukaan tanah. Giant sea wall pun dinilai tidak bisa diterapkan untuk semua kondisi wilayah (sepanjang pantai utara Jawa) karena ada berbagai variabel yang harus diperhatikan. Rasionalisasi dan komunikasi publik yang baik berdasarkan pada penjelasan sains—baik dari ilmu tata ruang-wilayah, geologi, dan ilmu terkait lainnya—bukan hanya akan memberikan pendidikan politik dan pencerdasan pada masyarakat, tetapi juga memastikan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang terpenuhi sebagai prasyarat terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang baik. Terlebih lagi, megaproyek tersebut—yang akan menghabiskan banyak anggaran—rentan terjadi praktik perburuan rente (rent seeking). Praktik perburuan rente sendiri dianggap sudah lazim dalam praktik ekonomi politik di Indonesia, sehingga sangat wajar ketika publik menaruh kecurigaan atas rencana megaproyek tersebut. Maka, memperkuat diskursus publik dapat meminimalisir potensi krisis legitimasi terhadap suatu kebijakan publik karena publik nantinya dapat menilai sejauh mana perangkat sains benar-benar dijadikan panduan untuk kebijakan pembangunan dan bukan didasari pada istilah “serakahnomics” yang dipopulerkan oleh Presiden Prabowo Subianto.Suasana pembangunan tanggul laut (Giant Sea Wall) di daerah Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (13/6/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparanKeterbukaan terhadap pengujian publik dengan menekankan pada proses diskursif pun bisa bermanfaat secara positif bagi perkembangan demokrasi karena turut memantik perdebatan wacana dalam ruang publik. Terlebih lagi, demokratisasi bisa dikatakan sukses (salah satunya) jika diikuti dengan tumbuhnya penalaran publik.Dengan kata lain, urgensi dan penekanan pada proses diskursif tersebut tidak hanya ditujukan untuk kepentingan publik, tetapi juga untuk kepentingan pemerintah itu sendiri guna meningkatkan legitimasi kebijakan. Bagi sebuah megaproyek yang akan memakan anggaran banyak sekaligus proses pembangunan yang panjang, legitimasi publik menjadi hal yang tidak bisa dikesampingkan. Dengan menguatnya proses diskursif, potensi kegaduhan publik bisa diminimalisir dan pemerintahan bisa lebih fokus melakukan pembangunan, bila memang benar mendasar pada kajian ilmiah yang andal dan menjawab permasalahan menurunnya permukaan tanah di Pantura tersebut.Tantangan PolitikSuatu kebijakan yang memakan proses pembangunan panjang dalam sebuah negara demokrasi jelas akan menghadirkan tantangan politik tersendiri. Megaproyek tersebut diproyeksikan akan memakan proses pembangunan selama 20 tahun. Lalu, bagaimana memastikan keberlanjutan pembangunannya ke depan ketika terjadi pergantian elite kekuasaan, mengingat political will akan memengaruhi alokasi sumber daya yang jelas berdampak bagi keberlangsungan pembangunan. Di sinilah diperlukan strategi guna menghindari kekhawatiran bahwa megaproyek tersebut akan mangkrak. Pembangunan Tanggul Laut (Giant Sea Wall) Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparanTantangan lainnya menyoal pada pembentukan Badan Otorita Pengelola Pantura. Meskipun berpotensi meningkatkan efektivitas pembangunan, tetapi hal tersebut juga berpotensi menghadirkan tumpang tindih kewenangan yang berdampak pada terganggunya koordinasi antarsektor pemerintahan. Terlebih lagi, selama ini ada masalah “ego sektoral” yang sudah menjadi masalah klasik dalam pemerintahan di Indonesia, yang justru berpotensi menghasilkan inefektivitas dalam pelaksanaan kebijakan.Hal yang dikhawatirkan: pembentukan badan tersebut adalah bagian dari desain kepemimpinan patrimonial yang selama ini menjadi masalah klasik lainnya dalam pemerintahan di Indonesia. Dengan kata lain, pembentukan badan tersebut bagian dari “bagi-bagi kue kekuasaan”. Terlebih lagi, indikasi berlangsungnya pola tersebut bisa dibaca sejak awal dengan gemuknya postur kabinet pemerintahan saat ini. Bila melihat masalah ini secara proporsional, seharusnya kementerian yang sudah ada dapat dimaksimalkan, seperti kementerian teknis yang di bawah Kementerian Koordinator Infrastuktur dan Pembangunan Wilayah. Membentuk badan baru pun jelas memakan anggaran dan dapat terbaca sebagai paradoks dari pemerintahan saat ini; Pemerintahan saat ini, di satu sisi banyak beretorika soal efisiensi anggaran, tapi secara de facto menunjukkan hal sebaliknya.