Murid menikmati paket makan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SD Sinduadi Timur, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman, Senin (13/1/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparanProgram Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan pemerintah pada awal 2025 dengan membawa harapan besar dalam agenda pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Sebagai salah satu kebijakan prioritas nasional, program ini ditujukan untuk menurunkan angka stunting dan meningkatkan status gizi anak-anak sekolah. Dengan dukungan anggaran besar dari APBN, pemerintah menargetkan jutaan penerima manfaat, sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 yang menekankan pentingnya gizi dan kesehatan generasi muda (Bappenas, 2025).Namun, di balik narasi positif yang dibangun pemerintah, implementasi di lapangan justru memperlihatkan persoalan serius. Data Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat adanya 4.700–5.000 kasus keracunan terkait distribusi makanan MBG. Laporan CISDI (19 September 2025) bahkan menyebut korban mencapai 5.626 siswa di 17 provinsi. Selain itu, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI, 21 September 2025) mencatat total 6.452 siswa keracunan. Fakta ini menunjukkan adanya kesenjangan serius antara tujuan program dan realitas di lapangan.Kondisi ini memunculkan pertanyaan kritis: Apakah Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang lahir dari ambisi mulia pemerintah benar-benar menjadi solusi gizi nasional, atau justru menjelma menjadi eksekusi celaka yang mengancam kesehatan anak-anak penerus generasi bangsa?Persoalan keamanan pangan menjadi akar masalah. Program berskala nasional semestinya mengikuti standar Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) yang menuntut kontrol ketat dari pemilihan bahan baku, proses pengolahan, penyimpanan, hingga distribusi. Namun, banyak Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang ditunjuk pemerintah tidak memiliki pengalaman memadai dalam pengolahan makanan massal. Hal ini menimbulkan celah risiko yang pada akhirnya berujung pada keracunan massal di berbagai daerah.Ilustrasi kartun sedang dirawat di rumah sakit dan di jenguk dua temannya. Foto: Dokumentasi Pribadi.Pengawasan dan respons pemerintah cenderung minimalis. Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyatakan, “Kasus keracunan yang saat ini terjadi masih dalam batas wajar,” dengan alasan bahwa total sajian makanan terindikasi keracunan hanya 4.711 porsi dari 1 miliar porsi yang sudah dimasak selama sembilan bulan program MBG berjalan (Tempo, 2025). Pernyataan semacam ini jelas tidak sebanding dengan skala permasalahan. Keracunan ribuan siswa bukanlah insiden kecil yang bisa dibungkus dalam statistik belaka, melainkan bukti adanya kegagalan sistemik dalam manajemen pangan, pengawasan mutu, dan kebijakan publik yang seharusnya mengutamakan keselamatan masyarakat.Tata kelola kebijakan memperlihatkan kelemahan serius, CISDI menilai program MBG butuh evaluasi total, JPPI menyebut kebijakan ini kontraproduktif terhadap upaya perbaikan gizi, sementara ICW dan KPAI menyoroti lemahnya pengawasan serta potensi masalah dalam mekanisme pengadaan. Kritik ini mengindikasikan bahwa program dijalankan secara terburu-buru, lebih menekankan pencitraan politik ketimbang kesiapan teknis dan perlindungan konsumen.Dimensi hukum jelas dilanggar. UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan menegaskan bahwa pemerintah wajib menjamin tersedianya pangan yang aman, bermutu, bergizi, dan beragam (Pasal 60 & 68). Bahkan, Pasal 86 mengatur bahwa setiap distribusi pangan harus memperhatikan aspek keamanan guna melindungi kesehatan masyarakat.Berbagai menu MBG yang disajikan di SD Muhammadiyah Pasir Lor, UPK Purwokerto Barat. Foto: Dok. IstimewaSelain itu, Peraturan BPOM No. 22 Tahun 2018 tentang CPPOB (Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik) mewajibkan setiap produsen memenuhi standar higienis. Fakta maraknya keracunan massal menunjukkan ketidakpatuhan serius terhadap mandat hukum ini.Dampak jangka panjang dari kegagalan implementasi MBG sangat merugikan. Dari sisi kesehatan, ribuan siswa yang keracunan memperberat beban layanan kesehatan daerah. Dari sisi pendidikan, siswa kehilangan waktu belajar dan menanggung trauma psikologis. Dari sisi sosial-politik, kegagalan ini mengikis kepercayaan publik terhadap program pemerintah, sekaligus mengancam legitimasi negara. Jika tidak dievaluasi secara serius, MBG bisa berubah haluan: dari proyek unggulan menjadi bencana kebijakan publik.Program Makan Bergizi Gratis lahir dari niat mulia untuk memperbaiki gizi anak bangsa dan menurunkan stunting. Namun, tanpa kesiapan teknis, pengawasan ketat, regulasi yang jelas, dan penerapan standar keamanan pangan yang sesuai dengan amanat UU No. 18 Tahun 2012 serta pedoman BPOM, program ini justru berubah menjadi "makan berisiko gratis".Solusi tidak bisa sekadar tambal sulam prosedur. Pemerintah harus mengambil langkah berani dengan evaluasi secara menyeluruh, penghentian sementara di daerah rawan, audit independen, dan melakukan penerapan standar HACCP dan CPPOB di semua rantai penyediaan pangan. Dengan cara itu, tujuan mulia dari program ini dapat tercapai dan kepercayaan publik dapat dipulihkan. Jika tidak, alih-alih memberikan kesehatan terhadap anak generasi penerus bangsa, program MBG ini justru memberikan risiko meracuni masa depan anak bangsa.