Ilustrasi Pundi-Pundi Pemda. Generated with ChatGPTSeperti tak mau kalah dari pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda) memiliki Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA) yang juga tidak sedikit dan banyak disimpan di perbankan. Saldo Anggaran Lebih (SAL) pemerintah pusat di Bank Indonesia—disebutkan biasanya digunakan sebagai penyangga untuk mengantisipasi ketidakpastian—akumulasinya mencapai Rp457,5 triliun pada akhir 2024, dan sebanyak Rp200 triliun kemudian digelontorkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ke 6 bank "pelat merah". Sedangkan SiLPA pemda—berdasarkan realisasi APBD per September 2025 yang dimuat di situs DJPK Kemenkeu—mencapai 46,7 triliun. Mengapa Harus Terkejut?SiLPA inilah yang merupakan sumber utama dari dana pemda yang mengendap menjadi pundi-pundi di perbankan dan kini disorot tajam oleh pemerintah pusat. Sebenarnya, dapat dikatakan cukup aneh jika pemerintah terkesan "terkejut" melihat besaran simpanan tersebut. Pertama, berdasarkan regulasi, simpanan pemda di perbankan bukan hal yang tabu. Pemda menggunakan simpanan ini untuk melakukan transaksi keuangan daerah (misalnya untuk pembayaran kontrak dengan rekanan, pembayaran gaji pegawai, pembayaran atas pengadaan barang/jasa, penghimpunan pendapatan daerah). Bentuknya dapat berupa giro, tabungan, dan deposito. Artinya, simpanan pemda di perbankan tidaklah selalu berarti daerah memiliki dana idle. Dapat dikatakan sebagai dana idle bila mencapai jumlah yang tidak wajar. Suatu daerah dikatakan memiliki simpanan yang tidak wajar bila posisi kas saldo positif setelah dikurangi perkiraan belanja operasi, belanja modal, transfer bagi hasil pendapatan, dan transfer bantuan keuangan untuk kurun waktu tiga bulan berikutnya. Rentang tiga bulan ini dapat dimengerti karena anggaran cair baru mulai bulan April, sehingga perlu cadangan untuk Januari sampai Maret di tahun yang bersangkutan. Ada juga pendapat bahwa SiLPA yang ideal maksimal hanyalah 2% dari APBD. Dana Pemda yang Mengendap di Perbankan (Per Agustus). Foto: Dokumentasi Pribadi.Distribusi Dana Pemda yang Mengendap di Perbankan Menurut Pulau (Agustus 2025). Foto: Dokumentasi Pribadi.Kedua, jumlah simpanan pemda di perbankan memang tidak main-main, tetapi gejala ini sudah terjadi sejak lama. Misalnya, per akhir Januari 2016, simpanan tersebut mencapai Rp180,71 triliun, setelah per September 2015 sebesar Rp298,4 triliun. Kini, per Agustus 2025, simpanan tersebut mencapai Rp233,11 triliun, lebih besar daripada gelontoran dana ke 6 bank "pelat merah". Seperti tampak pada dua grafik di atas, angka ini bahkan tertinggi sejak 2021, dengan kontribusi terbesar berasal dari pemda di Jawa, mencapai lebih dari 36%. Jika pemda masih suka menaruh banyak pundi-pundinya di perbankan sampai sekarang, hal tersebut menandakan adanya persoalan yang tidak pernah terselesaikan. Persoalan tersebut adalah anggaran pemda yang tidak optimal. Hal ini bisa saja dideteksi dengan melihat pola hubungan dari besarnya SiLPA dengan kinerja pembangunan di daerah yang bersangkutan. Namun, hampir pasti bahwa daerah dengan SiLPA tinggi, bermasalah dengan kemampuan pengelolaan proyek dan penyusunan anggaran.Ketiga, urusan SiLPA ini juga telah lama dikaji oleh Kementerian Keuangan. Misalnya, salah satunya adalah analisis yang dilakukan terhadap APBD tahun 2011-2015. Secara jelas disebutkan bahwa peningkatan simpanan pemda di perbankan sejalan dengan terjadinya peningkatan SiLPA pemda. Maka, simpanan pemda di perbankan yang saat ini melonjak adalah indikasi bahwa SiLPA mungkin juga melonjak. Sebagai gambaran, per Desember 2024, rasio antara realisasi dan pagu SiLPA mencapai 104,96%. Setahun sebelumnya, rasio tersebut bahkan lebih dari 152%. Laporan kajian tersebut juga menyebutkan bahwa penyerapan belanja yang tidak maksimal disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah faktor sumber daya manusia pemda. Sejumlah rekomendasi juga sudah dituliskan, misalnya dari sisi perencanaan APBD dengan meningkatkan akurasi perencanaan penerimaan. Maka, dengan berlanjutnya pemda yang memiliki pundi-pundi di perbankan dalam jumlah besar, hal itu sama saja diartikan bahwa hasil kajian seperti itu tidak cukup jelas juntrungannya (aturannya). Dengan kata lain, pemerintah pusat juga punya andil dalam urusan ini, jadi dapat dikatakan tidak sesuai jika sekadar menyalahkan pemda atau menampilkan kesan terkejut. Ilustrasi Bank Indonesia. Foto: ShutterstockBagaimanapun, ketika kinerja pelaksanaan belanja daerah tidak bagus, maka SiLPA meninggi. Artinya, tingginya SiLPA juga mungkin bukan karena dana terlalu banyak atau sukses melakukan efisiensi, melainkan karena tidak optimalnya kinerja pemerintah daerah.Sinergi Pusat-Daerah Menkeu Purbaya mengancam akan mengambil alih dana simpanan pemda di perbankan senilai Rp233 triliun tersebut jika tidak terpakai. Namun, yang diperlukan tentunya bukanlah sebatas ancaman semacam ini. Bagaimanapun, pemerintah pusat punya andil atas sinambungnya pundi-pundi pemda di perbankan. Apalagi, pemerintah pusat pun punya sisa anggaran (SAL) yang tidak sedikit. Akhir tahun 2023, SAL mencapai Rp454,5 triliun. Alasan pemerintah juga sama yakni saldo ini adalah sebagai fiscal buffer, baik dalam melindungi APBN maupun melindungi perekonomian dan masyarakat. Apakah pemerintah pusat sudah menampakkan kinerja yang optimal? Gambarannya, realisasi belanja negara sampai 31 Agustus 2025 barulah 54,1% dari APBN. Pada periode yang sama, realisasi belanja daerah baru sebesar 44.95% dari APBD. Artinya, kinerja pemerintah pusat tidak juga terlampau hebat jika dibandingkan dengan daerah.Maka, daripada memainkan taktik ancam-mengancam, lebih baik pusat dan daerah memperkuat sinergi antarkeduanya agar kinerja belanjanya semakin baik dan realisasi belanja tidak selalu menumpuk di semester kedua tahun anggaran, termasuk juga menentukan besaran sisa anggaran yang ideal. Baik SAL maupun SiLPA, keduanya jangan sampai terlalu besar; jika ada yang disimpan di sistem perbankan, nilainya harus wajar, sesuai dengan kebutuhan sebagai fiscal buffer. Jadi, bukan memupuk pundi-pundi di perbankan.