Dok: PenulisProgram MBG (Makan Bergizi Gratis) merupakan salah satu program prioritas pemerintah yang dimulai pada Januari 2025. Dasar hukum program ini bersandar pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional (BGN), yang menetapkan BGN sebagai lembaga di bawah Presiden dengan tugas mengkoordinasikan kebijakan gizi nasional, termasuk pemenuhan gizi bagi peserta didik PAUD, pendidikan dasar, menengah, pendidikan agama/keagamaan, pendidikan khusus, anak usia di bawah lima tahun, serta ibu hamil dan menyusui Selain itu, pemerintah melalui BGN juga sedang menyiapkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Percepatan MBG sebagai payung pelaksanaan teknis. Kepala BGN telah menyebut bahwa rancangan Inpres ini sudah disusun sejak April 2025 dan diajukan ke Sekretariat Negara untuk disahkan (bgn.go.id, 2025). Artinya, meskipun MBG sudah berjalan, dasar hukum operasional yang rinci masih dalam proses. Dengan latar hukum yang masih parsial tersebut, wajar jika publik mempertanyakan: bagaimana sebenarnya efektivitas MBG?.Dalam evaluasi kebijakan publik, terdapat tiga tingkat hasil: output, outcome, dan impact. Output MBG mudah diukur: berapa banyak porsi makanan yang dibagikan, berapa sekolah yang tercakup. Pemerintah melaporkan bahwa hingga pertengahan 2025, MBG telah menjangkau jutaan siswa melalui ribuan Unit SPPG (Satuan Pelaksana Pemenuhan Gizi) aktif. Outcome seharusnya menjawab: apakah anak-anak lebih sehat, gizi mereka terpenuhi, dan kehadiran sekolah meningkat? Impact yang ideal: kualitas SDM meningkat, kesejahteraan masyarakat sekitar terangkat, UMKM lokal tumbuh.Sayangnya, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Efektivitas MBG dinilai dari output saja. Sementara itu, outcome dan impact masih diragukan. Hal ini dikarenakan yang tampak justru konsekuensi yang tidak diantisipasi sejak awal.Sebelum MBG, banyak sekolah mengandalkan katering lokal. Ada guru PAUD yang ikut memasak, ada pedagang sekitar sekolah yang menyiapkan nasi, lauk, atau jajanan sehat. Ekosistem kecil ini memenuhi kebutuhan gizi sekaligus menghidupi masyarakat sekitar.Kini, dengan MBG, sistem itu nyaris hilang. UMKM lokal tak bisa bersaing karena standar dapur dan logistik sangat tinggi, bahkan disebut perlu modal hingga miliaran rupiah. Siapa UMKM yang sanggup? Akibatnya, hanya perusahaan besar dengan modal besar yang bisa mengakses proyek ini. Dengan demikian, MBG memperlebar jurang ketimpangan yang kaya makin kaya, yang kecil makin tersisih. Para pedagang sekolah pun mengeluh dagangan mereka tak laku lagi karena digantikan paket MBG.Kritik lain datang dari sisi kualitas menu. Laporan media dan ahli gizi menyebut bahwa di beberapa wilayah makanan MBG tidak selalu memenuhi standar gizi seimbang, bahkan cenderung mengandalkan produk olahan seperti roti, daging olahan, saus instan, hingga susu kemasan Beberapa daerah melaporkan siswa justru mendapat menu seperti spaghetti, burger, kebab, atau ayam katsu, beserta saus instannya, dan susu kotak full cream. Pertanyaannya di mana letak relevansi makanan ini dengan kebutuhan gizi anak Indonesia? Di mana ruang bagi pangan lokal seperti nasi, tempe, tahu, ikan, sayur, dan buah musiman?. Indonesia memiliki tradisi pangan lokal yang kaya, murah, dan bergizi. Tetapi MBG justru berpotensi mengikis budaya pangan Nusantara dengan menggantinya pada pangan instan yang tidak mendidik anak mengenal kekayaan lokal.Lebih jauh lagi, MBG juga menghadapi persoalan serius: kasus keracunan massal. Laporan berbagai media menyebut bahwa ratusan siswa di beberapa daerah mengalami keracunan akibat makanan MBG, dan lembaga pengawas mengakui lemahnya pengawasan sebagai salah satu penyebab.Kasus ini menjadi perhatian penting, karena jika keamanan pangan saja belum terjaga, bagaimana kita bisa yakin pada kualitas gizi dan dampak sosial-ekonomi program ini?.Dulu, sekolah dan komite orang tua bisa ikut menentukan menu, memilih penyedia, dan mengawasi kualitas makanan. Ada partisipasi, ada rasa memiliki. Kini, semua serba terpusat. Sekolah hanya penerima, tanpa kendali.Hilangnya ruang partisipasi ini membuat kontrol sosial melemah. Sekolah tahu persis kondisi siswanya, orang tua tahu kebutuhan gizi anak-anaknya. Tapi ketika mereka tidak dilibatkan, keluhan soal kualitas makanan pun tak berdaya ditindaklanjuti.Mari kita jujur. Pemenang dari MBG versi sekarang bukanlah siswa, bukan sekolah, bukan UMKM. Pemenangnya adalah perusahaan besar yang sanggup memenuhi standar dapur mahal dan distribusi skala nasional.Sementara yang rugi justru banyak:Anak-anak, karena tidak mendapat gizi lokal yang sesuai. Sekolah dan komite, karena kehilangan kendali. UMKM dan pedagang sekolah, karena kehilangan mata pencaharian. Masyarakat sekitar, karena ekosistem ekonomi kecil terhapus.Maka, saya berpandangan: MBG harus dihentikan sementara dan direstrukturisasi total.Usulan kebijakan:Hentikan mekanisme terpusat yang hanya menguntungkan pemain besar.Serahkan mekanisme ke sekolah dan komite, dengan sistem akuntabilitas yang transparan.Libatkan UMKM lokal dalam rantai pasok.Gunakan pangan lokal sesuai kearifan setempat.Evaluasi berbasis outcome dan impact, bukan sekadar output.Perkuat pengawasan keamanan pangan agar kasus keracunan tidak berulang.Tanpa tata kelola yang tepat, MBG justru menjadi kebijakan yang salah sasaran: mengabaikan gizi lokal, memutus rantai UMKM, dan mengancam keamanan pangan.Dengan dasar hukum yang masih belum kokoh yakni baru bertumpu pada Perpres 83/2024 tentang BGN dan rancangan Inpres yang belum final maka pemerintah harus berani melakukan jeda evaluasi. Jangan biarkan program sebesar ini berjalan tanpa fondasi yang kuat, partisipasi yang luas, dan dampak yang nyata bagi rakyat.Gizi anak tidak boleh jadi proyek. Gizi anak adalah masa depan bangsa. Dan masa depan itu hanya bisa terjamin jika sekolah, komite, orang tua, dan UMKM lokal diberi ruang sebagai subjek utama, bukan sekadar penonton.