Indef: Suntikan Fiskal Tak akan Pulihkan Ekonomi, Masalah Ada di Sektor Riil

Wait 5 sec.

Tangkapan layar Direktur Program dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbin. (ANTARA)JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pemerintah keliru jika menganggap masalah stagnasi ekonomi bisa diatasi hanya dengan mengucurkan fiskal lebih banyak ke masyarakat.Menurut Direktur Indef Eisha Maghfiruha Rachbini, persoalan utama justru terletak pada sektor riil yang masih terbebani oleh ketidakpastian, regulasi yang belum kondusif, serta rendahnya kepercayaan pelaku usaha.“Kebijakan hanya menggeser dana dari BI ke perbankanyang ditujukan untuk meningkatkan likuiditas agar mendorong sektor riil tidak serta-merta akan menyelesaikan masalah.  Di saat permintaan masyarakat sedang turun karena daya beli yang sedang turun, juga di sisi suplai, sektor riil sedang melambat di tengah ketidakpastian yang tinggi,” katanya dalam keterangan resmi, Minggu, 28 September.Berdasarkan data, Eisha bilang sektor riil memang tertekan. Hal ini tercemin dari penjualan kendaraan pada Januari hingga Juni 2025 anjlok, dengan wholesale turun 8,6 persen dan retail 9,5 persen. Kemudian, PMI manufaktur berada di zona kontraksi sepanjang kuartal II, sementara investasi asing langsung (FDI) susut dari Rp217,3 triliun menjadi Rp202,2 triliun.Selain itu, kata Eisha, permintaan domestik pun melemah. Konsumsi rumah tangga melambat, inflasi naik menjadi 2,37 persen pada Januari hingga Juli 2025 dari 1,07 persen di periode sama tahun lalu, sementara PHK meningkat 32 persen di semester I-2025.“Kepercayaan konsumen juga menurun, tercermin dari turunnya Indeks Keyakinan Konsumen dari 121,1 pada Maret menjadi 117,8 di Juni,” ucapnya.Karena itu, menurut Eisha, kebijakan fiskal seharusnya diarahkan untuk menjaga keseimbangan ekonomi, bukan membanjiri likuiditas yang justru menimbulkan ketidakseimbangan di pasar keuangan.“Seharusnya, Menteri Keuangan perlu juga memikirkan dampak penempatan dana tersebut secara lebih komprehensif pada pasar keuangan dan sektor riil. Sebab, injeksi likuiditas yang berlebihan dapat menimbulkan masalah baru,” katanya.Faktanya, sambung dia, likuiditas perbankan bukan masalah. Rasio LDR per Juli 2025 berada di 87 persen, masih jauh di bawah batas aman OJK 94 persen. Pertumbuhan kredit hanya 6,7 persen hampir seimbang dengan pertumbuhan DPK 6,6 persen, sementara rasio AL/DPK masih stabil di kisaran 27,08 persen di Juli.Kemudian, penempatan di SBN dan SRBI sekitar Rp790 triliun.  Pertumbuhan undisbursed loan tahunan sebesar 9,51 persen pada Juni 2025 dibandingkan Juni 2024. Angka ini cukup tinggi, bahkan pertumbuhan undisbursed loan di bank-bank persero bahkan mencapai 20,9 persen, mencerminkan ketidakpastian dunia usaha. Sementara, pertumbuhan kredit sebesar 7 persen per Juli 2025.“Data ini tidak mencerminkan masalah likuiditas, namun sisi permintaan kredit yang lemah, dimana industri dan pelaku usaha menghadapi ketidakpastian tinggi dalam menjalankan usaha,” ujarnya.Eisha bilang, posisi operasi moneter Bank Indonesia per minggu I September mencapai Rp991 triliun naik dari Rp 904 triliun pada minggu I September 2024. Kata dia, ini mencerminkan adanya excess liquidity yang tidak disalurkan pada kredit. Melainkan, sebagian besar excess liquidity (sekitar 70 persen) ditaruh pada SRBI karena bunga yg tinggi.  Sementara, posisi dana bank di SBN pada minggu 1 bulan September 2025 mencapai Rp1.545 triliun naik dari Rp1.505 triliun pada periode yang sama tahun 2024.  Berkaca dari data ini, Eisha bilang tantangan saat ini justru terletak pada lemahnya permintaan kredit. Menurut dia, pemerintah perlu melakukan strategi kebijakan fiskal dalam mendorong daya beli masyarakat.“Peran kebijakan fiskal dalam melakukan stabilisasi ekonomi ditujukan sebagai bantalan guncangan di saat daya beli masyarakat turun, terutama mereka yang berpenghasilan rendah,” ujarnya.Karena itu, menurut Indef, pemerintah perlu mengarahkan kebijakan fiskal untuk mendorong daya beli masyarakat dan memperbaiki kepercayaan konsumen, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Stimulus yang sudah berjalan, termasuk paket insentif 8+4, dianggap belum cukup karena hanya memberi efek jangka pendek.“Tanpa perbaikan distribusi pendapatan dan penguatan sisi permintaan domestik secara berkelanjutan, efek stimulus akan cepat mereda begitu intervensi fiskal dihentikan,” tegas Eisha.Eisha bilang injeksi likuiditas tanpa reformasi struktural justru berisiko memperdalam pemisahan (decoupling) antara sektor moneter dan riil.“Structural reform untuk memperbaiki iklim investasi dan usaha sangat mutlak diperlukan untuk meningkatkan kepastian usaha agar dunia usaha terdorong untuk berekspansi,” jelasnya.