Donald Trump dalam The New York Times. (Poto: The Now Time, under the Unsplash License)Tulisan menarik berjudul "How Trump Strikes Radically Different Tones in Public and Private", The New York Times, 24 September 2025, oleh Luke Broadwater dan Farnaz Fassihi, menyoroti fenomena unik dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Di hadapan publik, khususnya di mimbar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Trump tampil keras, bahkan cenderung menghina. Namun, dalam forum tertutup, ia menunjukkan wajah yang jauh lebih ramah dan kompromistis. Fenomena ini menimbulkan perdebatan tentang gaya komunikasi politik dan kepemimpinan yang ia usung.Di Majelis Umum PBB, Trump tidak segan menyebut organisasi itu “tidak berguna” dan menuduh negara-negara lain “menuju ke neraka.” Kritiknya juga diarahkan pada Eropa yang masih bergantung pada energi Rusia. Namun menariknya, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen memilih untuk tidak tersinggung. Sebaliknya, ia tetap tampil tenang dan diplomatis, seakan memahami pola komunikasi khas Trump yang sering kali penuh konfrontasi di ruang publik.Kontras terlihat ketika Trump bertemu langsung dengan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres. Nada yang keluar jauh berbeda: ia memuji potensi PBB dan bahkan menegaskan dukungan penuh Amerika Serikat. “Negara kami mendukung Perserikatan Bangsa-Bangsa 100 persen,” ujarnya. Bagi pengamat, ini seperti menyaksikan dua orang yang berbeda dalam satu tubuh—Trump yang garang di podium dan Trump yang ramah dalam percakapan pribadi.Fenomena ini dapat dianalisis melalui teori political communication styles yang dibahas oleh Kathleen Hall Jamieson, seorang pakar komunikasi politik Amerika. Menurutnya, pemimpin sering memainkan “dual messaging” atau pesan ganda: keras untuk audiens massa, tetapi lebih lembut dalam negosiasi terbatas. Trump tampaknya mahir mempraktikkan pola ini, baik untuk kebutuhan domestik maupun diplomasi internasional.Dari sudut pandang kepemimpinan, gaya Trump bisa didekati melalui teori transformational vs transactional leadership dari James MacGregor Burns. Trump kerap menggunakan pendekatan transaksional, di mana komunikasi publiknya menekankan ancaman dan tuntutan, sementara komunikasi pribadinya lebih berorientasi pada tawar-menawar dan kompromi. Dua gaya ini dijalankan bersamaan, menciptakan kesan inkonsistensi namun sekaligus memberi ruang fleksibilitas.Presiden AS Donald Trump berpidato di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-80, di New York City, AS, Selasa (23/9/2025). Foto: Jeenah Moon/REUTERSBagi dunia internasional, pola ini menimbulkan implikasi ganda. Di satu sisi, para pemimpin negara lain belajar untuk tidak terlalu reaktif terhadap retorika Trump di panggung terbuka. Mereka memahami bahwa retorika tersebut lebih ditujukan pada audiens domestik di Amerika. Di sisi lain, hal ini juga menciptakan ketidakpastian: apakah kata-kata kerasnya harus dianggap ancaman serius, atau hanya bagian dari strategi komunikasi?Bagi Uni Eropa, respons Ursula von der Leyen menunjukkan kecakapan diplomasi. Alih-alih terseret dalam perang kata, ia memilih untuk menjaga keseimbangan, sadar bahwa sikap Trump dalam forum tertutup bisa berbeda. Ini mencerminkan realitas baru dalam diplomasi internasional: retorika publik tidak selalu identik dengan posisi kebijakan yang sesungguhnya.Implikasi domestik di Amerika Serikat tidak kalah penting. Retorika keras Trump di depan PBB bukan hanya ditujukan kepada dunia, melainkan juga kepada pemilih di rumah. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya tetap konsisten sebagai sosok yang tegas, berani, dan tidak segan mengkritik lembaga multilateral. Bagi basis pendukungnya, sikap ini memperkuat citra “America First.”Namun, paradoksnya, sikap akomodatif dalam forum tertutup menunjukkan sisi pragmatis Trump. Ia menyadari bahwa Amerika tidak bisa sepenuhnya mengabaikan PBB atau organisasi internasional lainnya. Pada titik ini, Trump bukan hanya berperan sebagai komunikator untuk konstituen domestik, tetapi juga sebagai negosiator yang harus menjaga relasi global.Fenomena dua wajah Trump ini, bila ditarik lebih jauh, mencerminkan dinamika politik internasional di era media global. Apa yang ditayangkan di televisi atau diposting di media sosial sering kali hanya satu sisi dari kenyataan. Pemimpin modern, termasuk Trump, semakin menyadari kekuatan panggung publik sebagai sarana membangun citra, meski praktik politik sehari-hari bisa sangat berbeda.Bagi negara-negara lain, memahami pola ini menjadi penting agar tidak terjebak dalam sikap reaktif. Diplomasi menuntut kesabaran membaca “lapisan” komunikasi, membedakan mana retorika untuk konsumsi politik domestik dan mana yang benar-benar mencerminkan kebijakan resmi. Dengan kata lain, ketenangan Ursula von der Leyen justru bisa menjadi contoh bagaimana menghadapi pemimpin dengan gaya komunikasi kontras seperti Trump.Akhirnya, bagi politik domestik Amerika, gaya ini menimbulkan pro dan kontra. Pendukungnya melihat Trump sebagai pemimpin yang fleksibel dan tak kenal takut, sementara para pengkritiknya menilai ia tidak konsisten dan membingungkan. Namun satu hal jelas: fenomena dua wajah ini menunjukkan betapa komunikasi politik kini menjadi instrumen utama dalam memainkan peran kepemimpinan, baik di dalam negeri maupun di panggung global.