Syukur Panjang Umur: Kunci Sehat Fisik dan Mental di Usia Lanjut

Wait 5 sec.

Ilustrasi lansia Jepang yang bahagia dan awet muda di usia 100 tahun. Foto: Yoshikazu Tsuno/Pool via ReutersSemakin panjangnya harapan hidup manusia seolah menjadi kabar baik sekaligus tantangan. Di Indonesia, angka harapan hidup terus meningkat, mencapai 74,5 tahun pada 2023 menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, pertanyaan besar muncul: apakah hidup panjang juga selalu berarti hidup sehat dan bahagia?Fakta di lapangan menunjukkan lansia menghadapi risiko kesehatan yang tidak ringan. Mulai dari penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes, hingga masalah kesehatan mental seperti depresi dan kesepian. World Health Organization (WHO, 2023) mencatat, lebih dari 20% populasi usia lanjut di dunia mengalami gangguan mental atau neurologis, dengan depresi sebagai salah satu yang paling umum.Di tengah berbagai upaya medis dan teknologi kesehatan, ada satu 'obat alami' yang sering kali dilupakan: syukur.Syukur yang Panjang UmurSebuah studi dari Harvard T.H. Chan School of Public Health (2023) berjudul 'Experiencing gratitude associated with greater longevity among older adults' menemukan bahwa lansia yang rutin mempraktikkan syukur cenderung hidup lebih lama dan lebih sehat dibanding mereka yang jarang melakukannya. Penelitian tersebut menegaskan bahwa rasa syukur bukan sekadar sikap spiritual, melainkan juga faktor protektif terhadap berbagai risiko kesehatan.Bagaimana mungkin sebuah emosi bisa berpengaruh pada umur panjang? Jawabannya ada pada mekanisme biologis. Rasa syukur terbukti mampu menurunkan kadar kortisol, hormon yang berkaitan dengan stres kronis. Tingginya kortisol dalam jangka panjang berhubungan dengan tekanan darah tinggi, gangguan tidur, hingga melemahnya sistem kekebalan tubuh. Dengan kata lain, syukur bekerja sebagai penyeimbang alami tubuh dan pikiran.Vitamin Psikologis yang MenyehatkanSyukur bisa dianalogikan sebagai 'vitamin psikologis'. Ia mungkin tidak menyembuhkan penyakit langsung, tetapi memperkuat daya tahan tubuh terhadap tekanan hidup. Lansia yang terbiasa bersyukur cenderung lebih tenang, jarang merasa kesepian, dan memiliki ikatan sosial yang lebih hangat.Efek domino pun terjadi. Ketenangan jiwa menurunkan risiko gangguan tidur; tidur yang berkualitas memperkuat imunitas; imunitas yang baik membantu tubuh melawan penyakit degeneratif. Seperti lingkaran positif yang saling menguatkan.Penelitian lain yang diterbitkan di Frontiers in Psychology (Wong et al., 2022) bahkan menegaskan bahwa syukur dapat meningkatkan kualitas hidup subjektif, memperbaiki mood, hingga menurunkan gejala depresi pada usia lanjut.Praktik Syukur dalam Kehidupan LansiaIlustrasi lansia Jepang berusia lebih dari 100 tahun atau centenarians. Foto: Behrouz MEHRI / AFPPertanyaan berikutnya: bagaimana cara lansia bisa mempraktikkan syukur dalam kehidupan sehari-hari? Jawabannya sederhana, tidak membutuhkan biaya besar, bahkan bisa dilakukan tanpa teknologi canggih.1. Menulis jurnal syukurMencatat tiga hal kecil yang disyukuri setiap hari. Misalnya, cuaca cerah pagi ini, obrolan hangat dengan cucu, atau tubuh yang masih kuat berjalan ke pasar.2. Syukur interpersonalMengucapkan terima kasih kepada orang terdekat-pasangan, anak, cucu, atau bahkan tetangga. Ucapan sederhana bisa mempererat ikatan sosial yang menjadi kebutuhan penting di usia lanjut.3. Syukur spiritualDoa, meditasi, atau ibadah juga menjadi bentuk syukur yang memberi ketenangan batin. Bagi banyak lansia, dimensi spiritual menjadi pondasi utama menjaga keseimbangan jiwa.4. Syukur dalam komunitasBergabung dalam kelompok sosial atau komunitas lansia, di mana cerita-cerita positif bisa dibagi dan dihargai. Aktivitas ini bukan hanya menguatkan rasa syukur, tapi juga mencegah kesepian.Bahasa Universal AntargenerasiYang menarik, syukur sering dipahami berbeda oleh generasi. Generasi tua cenderung menempatkannya dalam bingkai religius atau spiritual, sementara generasi muda lebih mengaitkannya dengan psikologi positif atau praktik self-care.Namun, justru di sinilah keindahannya: syukur menjadi bahasa universal yang melintasi generasi. Orang tua bisa mengajarkan kedalaman makna spiritual dalam bersyukur, sementara anak dan cucu bisa menghadirkan bentuk praktik baru yang lebih ringan dan aplikatif.Kebersamaan antargenerasi melalui praktik syukur tidak hanya memperkuat kesehatan mental lansia, tetapi juga memperkaya nilai keluarga. Saat cucu mendengarkan kisah perjuangan kakek-neneknya, lalu menutup percakapan dengan kata 'terima kasih', itu bukan sekadar sopan santun, melainkan terapi emosional yang menguatkan kedua belah pihak.Refleksi: Hidup Panjang dengan KualitasHidup panjang sering dianggap sebagai anugerah. Namun, apa gunanya usia yang panjang bila dijalani dalam kesepian, ketegangan batin, dan tubuh yang rapuh? Syukur menawarkan perspektif lain: hidup panjang dengan kualitas.Bukan berarti syukur membuat semua masalah hilang. Penyakit tetap ada, tantangan usia lanjut tetap nyata. Tetapi syukur memberi kerangka batin untuk menerima, mengelola, dan tetap menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil.Di era ketika obat-obatan semakin canggih dan layanan kesehatan semakin maju, kita mungkin perlu mengingat kembali hal-hal sederhana. Bahwa sebuah ucapan terima kasih, rasa syukur pada hari yang masih bisa dijalani, atau sekadar senyum yang tulus, bisa menjadi 'terapi gratis' yang berdampak besar.Investasi Kesehatan Jangka PanjangSyukur adalah investasi. Semakin dini dipraktikkan, semakin besar manfaatnya di usia senja. Generasi muda pun bisa belajar sejak sekarang: bukan hanya mengejar kesuksesan, tetapi juga membiasakan hati untuk menghargai hal-hal kecil. Karena suatu hari nanti, saat memasuki usia lanjut, syukur bisa menjadi modal terbesar untuk hidup yang lebih sehat, bahagia, dan-siapa tahu-lebih panjang umur.Hidup panjang memang rezeki, tetapi hidup panjang dengan hati penuh syukur adalah anugerah yang sejati.