Gambar ilustrasi: kompilasi tokoh agama, pengusaha, dan bandit sosial. Sumber: Dokumen Pribadi.Topik bahasan tentang eksistensi orang kuat lokal (local strongmen) di Indonesia telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Hal ini menunjukkan perkembangan peran orang kuat lokal yang signifikan sehingga menarik perhatian banyak pihak, utamanya kalangan akademisi. Penelitian tentang orang kuat lokal pada dasarnya bertujuan untuk melihat bagaimana mereka berperan dalam proses sosial tertentu serta pola relasi yang dibangun untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Eksistensi orang kuat lokal telah muncul bahkan sebelum adanya kebijakan desentralisasi di Indonesia. Sebagian mereka hanya fokus dengan sektor masing-masing karena terdapat elite yang tampil dominan dalam kaitannya dengan sektor politik. Namun dengan diterapkannya otonomi daerah, peran mereka merambah ke berbagai sektor lainnya dengan tujuan menunjukkan eksistensi dan mewujudkan keinginannya, sehingga satu dan lainnya dapat menjalin relasi simbiosis mutualisme.Tulisan ini berupaya menjelaskan beberapa temuan terkait eksistensi dan dinamika orang kuat lokal di Indonesia serta reaksi atas berbagai temuan tersebut.Eksistensi dan Pengaruh Local StrongmenSebuah penelitian yang dilakukan oleh Nasir pada tahun 2015 menjelaskan tentang peran kiai dan organisasi Islam yang memberikan pengaruh besar terhadap perilaku memilih warga Tasikmalaya dalam Pemilu. Nasir menggunakan konsep aliran oleh Clifford Geertz untuk menjelaskan faktor perilaku seseorang dalam menentukan pilihan politik. Dalam analisisnya, peran kiai dan organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Persis merupakan faktor dominan yang mempengaruhi perilaku masyarakat Tasikmalaya dalam menentukan pilihan politiknya pada saat pelaksanaan Pemilu.Kemudian, penelitian Hidayat pada 2016 menegaskan bahwa hingga saat ini sosok kiai merupakan sosok makelar yang piawai dalam menjaga eksistensi kekuasaan informalnya, dengan tujuan mengakomodasi setiap kepentingannya. Penelitian ini juga menggambarkan bahwa hubungan patron klien tidak hanya terjadi antara kiai dengan santri, tetapi juga antara kiai sepuh dengan kiai muda. Kiai tidak hanya berperan dalam wilayah keagamaan tetapi juga berperan dalam urusan politik.Dalam konteks yang sama terdapat juga penelitian tentang sosok kiai dan belater di Madura yang sangat dominan dalam pelaksanaan Pemilu. Kuatnya pengaruh kiai dan belater bahkan berbanding terbalik dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan UUD 1945. Selama beberapa periode terakhir, empat kabupaten di Madura dipimpin oleh seorang kiai. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kiai. Dalam pandangan masyarakat Madura bahwa apa pun yang dijalankan dan diperintahkan oleh guru (kiai) harus diikuti, karena ia merupakan sosok yang dapat membimbing menuju kehidupan yang lebih baik.Di wilayah lainnya terdapat pola yang sama terkait relasi kiai dengan kekuasaan. Di Banten, misalnya, peran kiai dalam dunia politik pada era Orde Baru dan Reformasi telah mengalami pergeseran. Dari yang semula—disebut Geertz—sebagai cultural broker menjadi political broker. Masa keemasan kiai Banten terjadi pada tahun 1945 hingga 1950. Hal itu ditunjukkan dengan kedudukan bupati di Banten yang pada masa tersebut dijabat oleh para kiai. Namun pada era Orde Baru, para kiai diorganisir untuk menjadi pendukung partai penguasa. Kiai dan pemerintah menjalin hubungan simbiosis mutualisme. Kiai menjadi figur dalam mobilisasi massa untuk mendukung partai penguasa, sementara pemerintah membalasnya dengan dukungan material. Berawal dari hal tersebut kemudian menurunkan kharisma sosok kiai Banten di tengah masyarakat, hingga akhirnya berdampak pada peran kiai yang sebatas menjadi pendukung dalam dunia politik, bukan menjadi aktor utama. Di samping itu, menurunnya pengaruh kiai juga disebabkan oleh munculnya para jawara yang dibentuk dan dibesarkan oleh pemerintah, yang diorganisir dalam organisasi Satuan Karya (Satkar) Jawara.Di Jawa Timur juga mengalami dinamika tersendiri terkait relasi dan motif relasi kiai dan pemerintah serta dampak dari relasi keduanya. Kiai menjadi mitra pemerintah dalam melakukan sosialisasi program dan mediator konflik, sedangkan pemerintah memberikan dukungan dan jaminan kepada kiai dalam melakukan syiar Islam. Selain itu, pembangunan pondok pesantren kiai juga mendapat bantuan dari pemerintah. Dengan pola relasi tersebut telah berdampak pula pada hubungan kiai dan pemerintah secara harmonis.Kemudian di Provinsi Aceh, terdapat sosok Malik Mahmud Alhaitar yang memiliki pengaruh dalam kehidupan sosial politik masyarakat. Ia merupakan petinggi salah satu partai lokal Aceh. Munculnya orang kuat lokal di Aceh karena adanya keterlibatan negara. Faktor kemunculannya juga didasarkan kondisi lingkungan masyarakat, misalnya tokoh masyarakat dan tokoh adat yang memiliki kelebihan penguasaan kapital. Di Provinsi Riau, tepatnya di Kabupaten Kuantan Singingi yang juga memiliki pengaruh penting di tengah masyarakat, dan hal itu tentu dimanfaatkan dalam momentum politik seperti Pemilu/Pilkada. Pengaruhnya dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dalam pertarungan politik lokal.Berbagai temuan teresebut menunjukkan bahwa eksistensi orang kuat lokal dan perannya dalam masyarakat perlu terus diteliti dan dikembangkan. Hal ini berkaitan dengan dampak orang kuat lokal bagi keberlangsungan kehidupan kebangsaan, mengingat pengaruhnya yang begitu kuat dalam berbagai aspek hidup masyarakat, termasuk dalam perpolitikan.Peran orang kuat lokal dalam perpolitikan sering kali bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Salah satu contoh mendasar adalah, mereka (orang-orang kuat lokal) memanfaatkan sumber kekuatan yang dimilikinya untuk memengaruhi masyarakat agar mengikuti keinginannya. Dalam konteks pilihan politik, proses mobilisasi massa dilakukan dengan berbagai motif, mulai dari politik uang, tekanan, bahkan ancaman. Hal tersebut tentu mengekang kebebasan dan mengganggu hak orang lain.Lalu, apakah eksistensi dan pengaruh orang kuat lokal dalam masyarakat hanyalah sebatas dinamika atau merupakan ancaman bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia?