Ilustrasi drone. (Unsplash/@dollyfilms)JAKARTA - Denmark memerintahkan larangan penerbangan drone sipil pada Hari Minggu, setelah drone terlihat di beberapa fasilitas militer semalam, menyusul penutupan sementara beberapa bandara Denmark selama seminggu di mana serangan drone menyebabkan penutupan sementara beberapa bandara di Denmark.Militer Denmark mengatakan dalam sebuah pernyataan, mereka telah mengerahkan "beberapa kapasitas" sebagai tanggapan atas penampakan drone semalam di pangkalan-pangkalan tersebut, menolak berkomentar lebih lanjut mengenai sifat tanggapannya.Berdasarkan larangan tersebut, drone sipil akan dilarang memasuki wilayah udara Denmark mulai Senin hingga Jumat pekan ini, ketika Denmark, yang memegang jabatan presiden bergilir Uni Eropa untuk paruh kedua tahun ini, akan menjamu para pemimpin Eropa."Saat ini kita berada dalam situasi keamanan yang sulit, dan kita harus memastikan kondisi kerja terbaik bagi angkatan bersenjata dan kepolisian ketika mereka bertanggung jawab atas keamanan selama KTT Uni Eropa," ujar Menteri Pertahanan Troels Lund Poulsen dalam pernyataan pada Hari Minggu, melansir Reuters 29 September.Denmark akan menjamu para pemimpin Uni Eropa pada Hari Rabu, diikuti oleh KTT Komunitas Politik Eropa (ECM) yang beranggotakan 47 orang pada Hari Kamis, yang dibentuk untuk menyatukan Uni Eropa dengan negara-negara sahabat Eropa lainnya setelah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022.Sebuah fregat pertahanan udara Jerman tiba di Kopenhagen pada Hari Minggu untuk membantu pengawasan wilayah udara selama acara-acara penting tersebut.Diketahui, kemunculan drone pekan lalu memaksa Denmark untuk menutup bandara, termasuk penutupan Bandara Kopenhagen selama hampir empat jam pada Hari Senin.Denmark menyebut drone tersebut sebagai bagian dari "serangan hibrida". Denmark belum mengatakan secara pasti siapa yang diyakini bertanggung jawab, tetapi Perdana Menteri Mette Frederiksen telah mengisyaratkan kemungkinan Moskow, menyebut Rusia sebagai "negara utama yang menimbulkan ancaman bagi keamanan Eropa". Kremlin membantah tuduhan tersebut.