Keracunan Massal Makan Bergizi Gratis

Wait 5 sec.

Program makan bergizi gratis menjadi pusat perhatian setelah terjadi keracunan di beberapa tempat. (Antara) Presiden Prabowo Subianto menegaskan keselamatan anak harus menjadi prioritas di tengah gelombang keracunan yang mencoreng program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia memerintahkan evaluasi menyeluruh dan memastikan standar higienitas ditegakkan tanpa kompromi. Data Badan Gizi Nasional (BGN) per 22 September 2025 menunjukkan 4.711 anak menjadi korban keracunan. Pemantau pendidikan JPPI memperkirakan angka bisa mencapai 6.452 kasus hingga akhir September. Gelombang keracunan sudah meluas lintas daerah. Hasil laboratorium Jawa Barat mengungkap temuan mengejutkan. Bakteri Salmonella dan Bacillus cereus di salah satu dapur mitra MBG. Masalah bukan sekadar menu basi, melainkan cacat serius pada rantai higienitas. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui sebagian dapur MBG belum memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Kepala BGN menambahkan banyak tenaga dapur minim pengalaman—bukti lemahnya pelatihan dan pengawasan.Komisi IX DPR menuntut evaluasi menyeluruh tata kelola MBG, menyoroti lemahnya standar dan pengawasan. Padahal MBG digadang sebagai program unggulan untuk memperbaiki gizi anak dan membangun generasi emas. Data BGN per 22 Agustus 2025 mencatat lebih dari 20,5 juta penerima manfaat dengan lebih dari 6.100 dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) beroperasi di 38 provinsi. Target akhirnya: 82,9 juta anak dan 32.000 dapur. Namun, realisasi baru sekitar 19% dari target dapur. Dana yang terserap pun baru sekitar Rp19,3 triliun per 28 September 2025, meski sebelumnya hanya Rp13 triliun. Di Bandung Barat, program ini bahkan sempat ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) karena puluhan siswa keracunan serentak, sebelum status KLB dicabut akhir September. BPOM dan sejumlah dinas kesehatan daerah mengingatkan pentingnya standar higienitas dalam pengolahan makanan di dapur sekolah. Namun kenyataannya, banyak dapur tidak memiliki peralatan memadai, belum memiliki tenaga terlatih, dan masih mengandalkan sukarelawan tanpa pelatihan teknis. Menu bergizi kerap disusun tanpa memperhatikan rantai dingin atau daya simpan bahan segar. Kontrol kualitas? Mungkin, nyaris tak ada. Kalau ada bisa jadi keracunan bisa dihindari. Di balik gegap gempita janji gizi, tersembunyi krisis logistik dan struktural. Sistem distribusi pangan segar belum siap. Infrastruktur penyimpanan dan transportasi masih minim. Mekanisme audit kualitas makanan longgar. Kemitraan dengan swasta tumbuh cepat, tetapi tidak selalu disertai pengawasan ketat. Seluruh dapur SPPG yang telah dibangun hingga Agustus 2025 bahkan dibiayai melalui skema non-APBN, membuka peluang distorsi dan ketimpangan kontrol mutu. Program MBG nyaris dijalankan seperti proyek politik jangka pendek, bukan layanan publik berkelanjutan. Ketika keracunan muncul, kepercayaan publik runtuh. Jika makan siang gratis saja bisa membahayakan anak-anak, bagaimana publik bisa percaya pada program besar lain? Tulisan ini bukan ajakan untuk membatalkan MBG. Sebaliknya, ini seruan menyelamatkannya—bukan dengan tambal sulam, melainkan dengan desain ulang yang berani dan berbasis sistem. Kita setuju dengan sikap  Presiden Prabowo Subianto seperti disebut di awal tulisan. Lantaran itu, langkah darurat dan desain ulang tidak bisa lagi dipisahkan:⁠Audit independen menyeluruh. Pengawasan tidak boleh berhenti di atas kertas. Audit eksternal akan menyingkap kelemahan sistemik dan menekan moral hazard.Moratorium pada dapur bermasalah. Dapur yang belum lolos uji laboratorium wajib dihentikan sementara agar rantai distribusi makanan tidak menjadi ancaman.Dapur regional terstandar dengan rantai dingin. Pola “satu sekolah satu dapur” harus ditinggalkan. Dapur pusat dengan standar ketat memungkinkan distribusi makanan bergizi secara aman.Kemitraan koperasi petani lokal. Selain menyehatkan menu, langkah ini menumbuhkan ekonomi daerah dan memperkuat ketahanan pangan.Audit mutu harian yang transparan. Data keracunan, sanksi, dan perbaikan harus dipublikasikan agar kepercayaan publik tetap terjaga.Penguatan sumber daya manusia dapur. Pelatihan dan sertifikasi wajib sebelum dana mengalir. Ahli gizi, guru, perguruan tinggi yang memiliki jurusan tata boga, dan SMK tata boga harus dilibatkan. Yang terpenting, ubah cara pandang. MBG bukan proyek pencitraan, melainkan infrastruktur sosial. Butuh tahapan realistis, evaluasi ketat, dan komitmen lintas rezim. Lebih baik lambat tapi berkualitas daripada cepat namun mencederai anak bangsa. Jika negara benar-benar ingin memberi makan bergizi kepada puluhan juta anak, negara harus siap bekerja seperti petani. Pelan, telaten, dan sadar bahwa panen tak bisa dipaksa datang lebih awal. Dan, orang-orang di sekitar Presiden pun harus siap menerima kritikan. Jangan pula wartawan yang bertanya soal MBG yang banyak masalah sampai dicabut kartu liputan di istana-nya.