Living Together dalam Perspektif KUHP Baru Indonesia

Wait 5 sec.

https://cdn.pixabay.com/photo/2021/01/05/07/17/couple-5890023_960_720.jpg (Ilustrasi pasangan jatuh cinta)Istilah kumpul kebo sudah lama beredar di masyarakat kita. Secara sederhana, istilah ini merujuk pada sepasang laki-laki dan perempuan yang belum menikah tapi memilih tinggal bersama layaknya suami-istri atau yang sering kita tahu zaman sekarang dengan istilah living together. Praktik semacam ini awalnya banyak ditemukan di negara-negara Barat sejak akhir abad ke-20, seiring perubahan pandangan masyarakat tentang pernikahan, peran gender, hingga soal agama.Di Indonesia, fenomena ini bukan lagi hal asing. Baik di kota besar maupun di pedesaan, ada saja pasangan yang memilih hidup bersama tanpa menikah lebih dulu. Namun, karena Indonesia menganut nilai budaya ketimuran yang kuat, kumpul kebo sering kali dianggap bertentangan dengan norma sosial maupun ajaran agama. Hal inilah yang membuat isu ini terus memunculkan perdebatan: apakah kumpul kebo sekadar urusan pribadi, atau memang patut diatur dan diberi sanksi?Bagaimana Hukum Melihat Kumpul Kebo?Seiring berjalannya waktu, kumpul kebo tidak lagi hanya dipandang sebagai masalah moral atau adat. Setelah DPR mengesahkan KUHP baru pada 6 Desember 2022, perilaku ini kini masuk dalam ranah hukum pidana yang di istilahkan dengan nama kohabitasi.Ada dua pasal penting yang menyinggung soal ini:Pasal 411 ayat (1): setiap orang yang berhubungan intim dengan orang yang bukan pasangan sahnya (suami/istri) bisa dijerat pidana karena zina, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 1 tahun.Pasal 416: orang yang hidup bersama sebagai suami-istri tanpa ikatan perkawinan dapat dikenai hukuman penjara hingga 6 bulan atau denda maksimal kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta.Dengan adanya pasal-pasal tersebut, kumpul kebo bukan lagi sekadar perilaku yang dipandang “tidak pantas”, tapi juga bisa berujung pada sanksi hukum.Apakah Bisa Langsung Dilaporkan?Meski sudah ada aturan pidananya, bukan berarti semua kasus kumpul kebo bisa otomatis diproses hukum. KUHP baru mengaturnya sebagai delik aduan absolut. Artinya, hanya pihak-pihak tertentu yang berhak melaporkan.Jika salah satu pelaku sudah menikah, maka yang berhak mengadukan adalah pasangan sahnya (suami/istri). Kalau pelakunya belum menikah, maka laporan bisa datang dari orang tua atau anak. Jadi, masyarakat umum atau tetangga tidak bisa semena-mena menggerebek lalu menjadikannya kasus pidana. Bahkan, laporan yang sudah masuk pun masih bisa ditarik kembali selama persidangan belum dimulai.Aturan ini menunjukkan bahwa negara memang memberi ruang hukum, tapi tetap membatasi agar persoalan semacam ini tidak dijadikan alasan untuk main hakim sendiri.Sanksi yang DikenakanMengacu pada KUHP baru, pelaku kumpul kebo bisa dikenai dua bentuk hukuman:Pidana penjara: maksimal 1 tahun (Pasal 411) atau maksimal 6 bulan (Pasal 416).Pidana denda: maksimal kategori II, yakni Rp10 juta (Pasal 79 ayat 1 KUHP).Dengan adanya sanksi ini, kumpul kebo tidak bisa lagi dianggap sebagai hal yang “biasa saja”, karena ada konsekuensi hukum yang mengikat.Kumpul kebo atau kohabitasi, yang awalnya lebih dikenal di negara-negara Barat, kini menjadi isu yang cukup pelik di Indonesia. Dari sisi budaya dan agama, praktik ini jelas bertentangan dengan norma ketimuran yang masih kuat di masyarakat. Dari sisi hukum, KUHP baru sudah menegaskannya sebagai tindak pidana, meski hanya bisa diproses melalui delik aduan.Dengan begitu, fenomena kumpul kebo di Indonesia memiliki dua wajah: satu sisi dianggap sebagai hak privat oleh sebagian kalangan, namun di sisi lain tetap dinilai melanggar norma sosial sehingga layak diatur hukum. Apakah sebuah kasus kumpul kebo akan berujung ke ranah pidana atau tidak, sangat bergantung pada sikap keluarga dekat dari para pelaku.