Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan saling terhubung, kita sering kali dituntut untuk peka terhadap kondisi orang lain. Banyak individu berusaha hadir sebagai sosok yang bisa diandalkan, entah sebagai pendengar setia, pemberi nasihat, atau sekadar teman berbagi cerita. Kemampuan merasakan apa yang orang lain rasakan yang disebut empati menjadi salah satu kualitas manusiawi yang paling berharga. Namun, ketika empati dijalani tanpa kendali atau batas, perasaan ini justru dapat berubah menjadi beban yang berat. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah compassion fatigue atau kelelahan empati, sebuah fenomena psikologis yang sering tidak disadari, tetapi perlahan-lahan menggerogoti kesehatan mental seseorang.Ilustrasi menunjukkan ketika empati tanpa batas berubah menjadi beban yang melelahkan. Sumber Gambar: pixaby.comPada tahap awal, seseorang yang memiliki empati tinggi biasanya merasa bangga karena dapat menjadi penolong. Ada kepuasan tersendiri saat berhasil membuat orang lain merasa lebih lega atau dihargai. Akan tetapi, kepuasan itu kerap menutupi fakta bahwa energi emosional yang dikeluarkan sangat besar. Semakin sering seseorang mendengarkan kisah penderitaan atau terlibat dalam masalah orang lain, semakin banyak pula tenaga batin yang tersedot. Lambat laun, muncul gejala samar-samar seperti cepat lelah, sulit tidur, hilang konsentrasi, atau bahkan rasa hampa setelah membantu. Ironisnya, mereka yang mengalami kondisi ini sering menolak untuk berhenti karena merasa berdosa jika tidak selalu tersedia bagi orang-orang di sekitarnya.Secara psikologis, kelelahan empati dapat dianalogikan seperti sebuah wadah air yang terus diisi tanpa pernah dikosongkan. Setiap kali seseorang berempati, dia meminjamkan ruang batinnya untuk menampung kesedihan atau kecemasan orang lain. Pada awalnya wadah itu masih cukup luas, tetapi jika tidak pernah mendapat waktu untuk dikosongkan atau diisi ulang, lama-kelamaan ia akan penuh dan akhirnya tumpah. Pada titik inilah individu mulai kehilangan kemampuan untuk merasa tulus dalam membantu. Yang tersisa hanyalah kewajiban mekanis, perasaan terpaksa, bahkan terkadang muncul sikap apatis terhadap penderitaan orang lain dari tujuan empati itu sendiri.Fenomena ini tidak hanya dialami oleh tenaga profesional seperti dokter, psikolog, perawat, atau pekerja sosial yang sehari-hari bersinggungan dengan penderitaan manusia. Orang-orang biasa pun sangat rentan, terutama mereka yang dikenal sebagai “teman curhat” dalam lingkaran sosialnya. Bayangkan seorang mahasiswa yang harus menghadapi tekanan akademik, tetapi pada saat bersamaan juga menjadi tumpuan teman-temannya yang mengalami masalah keluarga atau krisis identitas. Alih-alih fokus pada dirinya sendiri, dia terus-menerus menyalurkan energi untuk mendukung orang lain. Ketika pola ini berlangsung lama tanpa jeda, beban yang dipikulnya bisa berlipat ganda beban pribadi dan beban orang lain.Kelelahan empati sering menimbulkan dilema batin. Di satu sisi, ada rasa tanggung jawab moral untuk selalu hadir membantu. Namun, di sisi lain, tubuh dan pikiran sudah mengirimkan sinyal bahwa kapasitasnya mulai menurun. Perasaan ini sering membuat seseorang merasa bersalah saat mencoba menarik diri. Khawatir dianggap egois, tidak peduli, atau meninggalkan orang lain. Padahal, sinyal keengganan atau kelelahan sebenarnya merupakan alarm penting yang menunjukkan bahwa kapasitas emosional sudah mencapai batas. Jika terus dipaksa, risiko yang timbul bukan sekadar keletihan biasa, melainkan potensi depresi, kecemasan berlebih, hingga kehilangan rasa percaya diri.Dari sudut pandang, empati yang berlebihan menimbulkan dampak nyata pada sistem saraf. Ketika seseorang terlalu sering menyerap penderitaan orang lain, area otak yang berfungsi mengolah rasa takut dan stres menjadi terlalu aktif. Kondisi ini memicu peningkatan hormon, yang bila berlangsung lama dapat merusak keseimbangan tubuh. Akibatnya, seseorang bisa mengalami sakit kepala, nyeri otot, gangguan pencernaan, bahkan masalah tidur kronis. Jadi, kelelahan empati bukan hanya perkara perasaan, tetapi juga kondisi biologis yang memiliki implikasi serius terhadap kesehatan fisik.Meski tampak menakutkan, kondisi ini bisa dicegah maupun diatasi. Langkah pertama adalah menyadari bahwa membantu orang lain tidak harus berarti mengorbankan diri sepenuhnya. Menetapkan batas yang sehat atau healthy boundaries sangat penting untuk menjaga keseimbangan. Batasan tersebut bisa berupa waktu khusus untuk mendengarkan masalah orang lain, atau keberanian untuk berkata, “Aku ingin membantu, tapi saat ini aku juga butuh waktu untuk diriku sendiri.” Dengan batasan semacam ini, seseorang tetap bisa menunjukkan empati tanpa membiarkan dirinya terkuras habis.Selain batasan, praktik self-care harus dijadikan prioritas. Banyak orang salah paham dengan istilah ini, menganggapnya sebagai bentuk egoisme atau kemewahan. Padahal, self-care justru merupakan bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri agar tetap stabil. Aktivitas sederhana seperti menulis jurnal untuk meluapkan emosi, berjalan santai di alam terbuka, mengatur pola tidur yang cukup, atau melakukan meditasi, semuanya adalah cara untuk mengisi ulang energi emosional yang habis terkuras. Dengan begitu, ketika seseorang kembali membantu orang lain, ia melakukannya dengan penuh kesadaran, bukan dalam kondisi setengah lelah.Pada akhirnya, kelelahan empati mengajarkan kita bahwa menjadi penolong sejati tidak berarti harus selalu hadir setiap saat. Justru, penolong yang efektif adalah mereka yang mampu menjaga dirinya terlebih dahulu agar tetap kuat dan stabil. Empati memang sebuah anugerah, tetapi anugerah itu harus dikelola dengan bijaksana. Dengan menyadari gejala kelelahan, menetapkan batas yang jelas, dan merawat diri secara konsisten, kita dapat terus menebarkan kebaikan tanpa kehilangan jati diri. Menolong orang lain memang mulia, tetapi menjaga kesehatan mental sendiri adalah syarat mutlak agar kemuliaan itu bisa berkelanjutan.