Salah satu perubahan paling penting yang dibawa oleh dunia digital adalah gadget. Dalam sejarah perkembanganya, gadget membawa dampak besar dalam memberikan kemudahan di berbagai lini aspek kehidupan kita, mulai dari kemudahan dalam mengakses informasi, sebagai media entertainment, sampai turut andil dalam kehidupan kita sehari-hari dan berperan aktif di ranah sosial-budaya manusia. Generasi Z sebagai generasi yang lahir di tengah-tengah arus digital tentu sangat amat di pengaruhi oleh gadget yang kian lama kian masif berkembang.Seorang anak yang sedang bermain gadget. Sumber: PexelsGenerasi Z cenderung menggunakan perangkat digital lebih banyak untuk hiburan daripada komunikasi sosial atau pembelajaran. Perilaku ini mendekati adiksi dan dapat berdampak negatif pada prestasi belajar serta interaksi sosial mereka (Putri, Supriyadi, Wijaya, & Pujiharti, 2021). Salah satu dampak yang terlihat adalah kecenderungan untuk menutup diri dari lingkungan sosial, kurangnya kemampuan untuk mengekspresikan diri, kurangnya keaktifan serta sikap Pasif-Apatis yang mungkin bisa disebabkan karena kurangnya minat atau bakat akan sesuatu. Fenomena ini tidak bisa di pandang sebagai masalah sosial-budaya saja, tetapi mempunyai dasar biopsikologis yang kuat.Fenomena pasif-apatis generasi muda dapat dianalisis melalui mekanisme neurobiologis. Pertama, aktivitas digital seperti mendapatkan likes, notifikasi, atau pencapaian dalam game memicu pelepasan dopamin pada area otak seperti nucleus accumbens. Dopamin inilah yang menimbulkan sensasi reward instan. Akibatnya, otak terbiasa mencari kesenangan cepat dari gadget, sementara interaksi sosial nyata yang membutuhkan usaha lebih tidak lagi terasa menarik (BMC Public Health, 2025).Ilustrasi otak manusia. Sumber: PexelsKedua, proses neuroplastisitas memperkuat jalur saraf yang berkaitan dengan reward digital. Seiring waktu, hal ini dapat menurunkan sensitivitas terhadap reward sosial, secara tidak langsung memunculkan sikap pasif, serta mengurangi motivasi untuk terlibat dalam hubungan tatap muka. Kondisi ini sejalan dengan temuan sistematis bahwa paparan layar berlebihan berkorelasi dengan meningkatnya stres, depresi, dan rendahnya self-esteem pada remaja (BMC Psychology, 2023).Ketiga, perkembangan prefrontal cortex pada remaja dan dewasa awal yang berfungsi mengendalikan impuls dan pengambilan keputusanmasih berlangsung. Keterpaparan reward digital yang berulang membuat fungsi regulasi diri melemah, sehingga generasi muda sulit mengontrol penggunaan gadget (PubMed, 2023). Ketidakmampuan ini menjelaskan mengapa banyak dari mereka lebih memilih aktivitas pasif dengan gadget dibandingkan terlibat aktif dalam interaksi sosial.Seorang anak yang mengurung diri. Sumber: PexelsDari kecenderungan perilaku apatis yang di alami oleh remaja ini, ada kaitannya dengan perilaku-perilaku yang berhubungan dengan gejala-gejala seperti meningkatnya risiko kesepian, depresi, dan isolasi sosial. perilaku di atas tentu akan berdampak secara sosial dan kesejahteraan anak di masa datang, Dalam jangka panjang, generasi muda bisa kehilangan kemampuan membangun dukungan sosial yang penting bagi kesehatan mental dan kesejahteraan.Kecenderungan pasif-apatis generasi muda tidak dapat dipandang sekadar sebagai masalah moral atau budaya. Dari perspektif biopsikologi, fenomena ini berakar pada perubahan sistem reward otak, ketidakseimbangan neurotransmiter, serta lemahnya kontrol impuls akibat dominasi gadget dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami dasar biologisnya, kita dapat menyadari bahwa solusi tidak cukup hanya mengkritik gaya hidup generasi muda, tetapi perlu mengembangkan literasi digital, regulasi penggunaan gawai, serta menciptakan ruang sosial yang lebih bermakna agar keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata dapat terjaga.