Sebuah kompleks perumahan subsidi. (ANTARA/HO - BP Tapera)JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembayaran iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera tidak bisa dipaksakan. Namun di sisi lain, krisis perumahan belum menemukan titik terang.MK telah membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera secara keseluruhan pada Senin (29/9/2025). Skema yang disusun dinilai tidak memberi akses pada rakyat untuk memenuhi kebutuhan rumah layak dan terjangkau. MK memberi tenggat dua tahun kepada pembuat regulasi untuk melakukan perbaikan.Salah satu putusan MK tersebut adalah membatalkan pembayaran iuran Tapera bagi pekerja.Ketua MK Suhartoyo menjelaskan, UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang, sebagaimana amanat Pasal 124 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.Dengan demikian, pekerja tidak wajib menjadi peserta Tapera. Sebelumnya, setiap peserta Tapera mewajibkan pekerja membayar iuran tabungan tiga persen (2,5 persen dari peserta dan 0,5 persen dari pemberi kerja) dari total gaji setiap bulannya.Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo bersama Wakil Kedua MK Saldi Isra dan anggota Majelis Hakim MK Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Guntur Hamzah memimpin sidang gugatan UU Tapera di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (29/9/2025). (ANTARA/Fauzan/foc)Iuran Tapera Tak LogisSebelumnya, ada tiga pihak yang melayangkan gugatan, dua dari kelompok buruh dan seorang pekerja, atas Pasal 7 ayat 1 yang isinya: “Setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta”.Penggugat menilai frasa wajib itu hanya menambah beban finansial, sementara tidak ada jaminan mereka bakal mendapatkan rumah.MK menyebutkan sejumlah pertimbangan terkait pembatalan UU Tapera ini. Pertama, Tapera dianggap menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi penghutang yang bersifat memaksa.Kedua, MK menilai kewajiban pekerja menjadi peserta Tapera untuk mendapatkan rumah menggeser peran negara. Menurut MK, negara seharusnya bertanggung jawab menyediakan rumah layak huni bagi warganya.Ketiga, frasa “wajib” dalam Pasal 7 ayat 1 UU Tapera akan menjadi beban pekerja, terutama bagi yang terkena PHK dan atau pemberi kerja yang usahanya telah dibekukan atau dicabut izin usahanya.Terakhir, MK menilai ketentuan Pasal 7 ayat 1 yang mengharuskan pekerja menyisihkan penghasilannya untuk perumahan menimbulkan duplikasi program dengan skema Jaminan Hari Tua (JHT) yang memiliki akses terhadap tabungan maupun fasilitas pembelian perumahan tanpa harus dibebani iuran tambahan lainnya.Keputusan MK yang menganulir kewajiban kepesertaan Tapera bagi pekerja disambut positif Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN). Presiden KSPN Ristadi mengatakan, sejak awal pihaknya menilai skema iuran Tapera tidak logis dan tidak memberikan kepastian bagi pekerja untuk dapat memiliki rumah.Menurut hitung-hitungannya, jika skema pemilikan rumah murni mengandalkan akumulasi iuran sebesar tiga persen maka secara matematis mustahil tercapai.Jika rata-rata upah Rp3,5 juta, maka iuran per bulan hanya sekitar Rp105.000. Ia menyebut butuh aktu hingga 2.000 bulan untuk bisa mengumpulkan uang Rp250 juta, harga rumah subsidi sederhana saat ini.Kemenangan bagi PekerjaPutusan MK disebut sebagai kemenangan besar bagi pekerja, terutama buruh dan pekerja mandiri, yang sejak 2024 memang sudah memprotes iuran Tapera di tengah biaya hidup yang meningkat.Penghapusan kewajiban iuran ini bisa membuat pekerja berpenghasilan rendah dapat mempertahankan daya beli mereka, yang sebelumnya terancam oleh potongan 2,5 persen dari gaji. Bagi pekerja yang sudah memiliki rumah, putusan ini juga mengakhiri ketidakadilan kebijakan yang tidak mempertimbangkan status kepemilikan.Sementara di sisi lain, putusan ini menimbulkan tantangan bagi upaya pemerintah mengatasi backlog perumahan. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian PUPR yang dihimpun dalam Laporan Khusus Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI pada Juni 2024, angka backlog kepemilikan rumah di Indonesia mencapai 12,7 juta unit di tahun 2023.Secara umum, backlog perumahan dapat diartikan sebagai kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah yang dibutuhkan rakyat.Buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyalakan flare saat mengikuti aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (6/6/2024). Aksi ratusan buruh tersebut salah satunya menolak program Tapera. (ANTARA/Reno Esnir/nym)Pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Jehansyah Siregar mengatakan, dengan menghapus kewajiban iuran Tapera, MK menegaskan bahwa kebijakan publik harus menghormati hak konstitusional dan prinsip kesukarelaan.Namun, kata Jehansyah, tenggat dua tahun untuk penataan ulang UU Tapera menempatkan pemerintah di persimpangan.“Apakah mereka akan merancang kebijakan perumahan yang lebih inklusif, atau membiarkan krisis perumahan berlarut-larut?” tuturnya.Kemenangan ini bukan akhir, melainkan awal dari tantangan untuk menciptakan sistem pembiayaan perumahan yang adil, transparan, dan efektif."Di tengah euforia, publik harus tetap kritis memantau langkah pemerintah, memastikan bahwa solusi baru tidak hanya menyelesaikan gejala, tetapi juga akar masalah backlog perumahan," kata Jehansyah menyudahi.